Halaman

Selasa, 19 Februari 2013

HUKUM KPR RUMAH

0 komentar

HUKUM KPR RUMAH

Seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR ( Kredit Pemilikan Rumah) . Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut  adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa persennya, umpamanya  membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP ). Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar 1 juta.  Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.
Transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam.  Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan ( Pinjaman Yang Baik ) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, bukan untuk mencekik.  Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi ?
Ada beberapa solusi : diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah ( Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’ ) . Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.
Tetapi setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus dibayar sama ?
Kalau kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya :
Pertama : Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita, maka pihak Bank yang menanggung resikonya.  Berbeda dengan Bank Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.
Kedua : Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya  cicilannya jadi lebih besar.
Yang jelas, sistem yang digunakan oleh Syariah Islam jauh lebih unggul dan lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR ( Kredit Pemilikan Rumah ) di Bank Konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke Bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus.
Jakarta, 6 September 2008
DR. Ahmad Zain An Najah, MA
READ MORE - HUKUM KPR RUMAH

Asuransi Dalam Islam

0 komentar


Asuransi Dalam Islam

Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yag mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapai kecelakan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.
Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam
Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful,atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini ( khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.
Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, :
” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan ”
Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :
I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :
1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial
2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’I ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain.   [1]
Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.
Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]
II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.
Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :
1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )
2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan
Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :
Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )
Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )
Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.
Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :
1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)
Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode
waktu tertentu.
Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :
-          Usia Tertanggung 30 tahun
-          Masa Kontrak 1 tahun
-          Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
-          Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
-          Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
-          Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 
Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.
3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 
Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.
Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
-          Usia Tertanggung 30 tahun
-          Masa Kontrak 10 tahun
-          Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
-          Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
-          Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
-        Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta
IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.
Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :
1.    Asuransi Konvensional
2.    Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]
Hukum Asuransi
Hukum Asuransi dalam Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :
Pertama : Ansuransi Ta’awun
Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut[5] :
1.    Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ ( sumbangan suka rela ) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang  menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan  ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.
2.    Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.
3.    Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.
4.     Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.
Kedua : Asuransi Sosial.
Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :
1. Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu. 
2. Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan  hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.

Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga
Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :
Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad  secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“ Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787  )
Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah  ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang,  juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." ( Qs. Al-Maidah: 90).
Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma' para ulama.


Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur  rihan ( taruhan )  yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta  perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ


" Tidak ada perlombaan  kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau  yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.


Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (Qs.An-Nisa': 29).



Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan  bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan  Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]
Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1.    Dari Sisi Prinsip Dasar
Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.

2.    Dari Sisi Akad
Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).

3.    Dari Sisi Kepimilikan Dana
Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ) .Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana
4.    Dari sisi obyek
Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah.  Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.
5.    Dari Sisi Investasi Dana.
Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).
6.    Dari Sisi Pembayaran Klaim.
Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.
7.    Dari Sisi Pengawasan.
Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.
8.    Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah
Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.
Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]
Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.  Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga  tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.
Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.
Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu  . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah  PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.   Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syriah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas



[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909
[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2
[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya'ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah,  dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.
[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya'ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,
[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5
[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73
READ MORE - Asuransi Dalam Islam

Kamis, 20 Desember 2012

Mengenal Allah Pada Anak

0 komentar

Mengenal Allah Pada Anak

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, untuk mengawali bayi-bayi kita dengan kalimat laa ilaaha illaLlah." Kalimat suci inilah  yang kelak akan membekas pada otak dan hati mereka
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.
Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang.
Astaghfirullahal ‘adziim…
Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat "keliru" –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, "Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa."
Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, "E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…?Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho."
Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara "mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari". Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka "menjauh" karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.
Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Allah.
Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.
Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak kita, mari kita periksa catatan berikut ini:

Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, "Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah."
Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 ChildrenA Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.
Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang. Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:
"Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering." (HR. At-Tirmidzi).
Dalam riwayat lain disebutkan, "Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan."
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.
Wallahu a’lam bishawab.

Iqra’ Bismirabbikal ladzii Khalaq

Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.
Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, "Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?"
Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran –bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.
Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan memuliakan mereka yang mulia.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah penulis kolom rubrik parenting di Majalah Hidayatullah
READ MORE - Mengenal Allah Pada Anak

Rabu, 19 Desember 2012

Polemik Arah Kiblat

0 komentar

Polemik Arah Kiblat

kaaba1Akhir-akhir ini arah kiblat mulai menjadi pembicaraan hangat kaum muslimin di Indonesia.  Pasalnya fatwa MUI No 3 tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia ke arah barat mulai direvisi kembali pada fatwa MUI No 5 yang merubah redaksi menjadi arah barat laut.
Apa sebenarnya  makna kiblat itu ? Bagaimana sejarahnya ? Apakah kewajiban menghadap kiblat itu berlaku bagi seluruh sholat atau hanya sholat tertentu saja ? Dan kiblat umat Islam Indonesia sebenarnya menghadap ke arah mana ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut Insya Allah akan terjawab dalam makalah berikut ini :
Makna Kiblat
Kiblat berasal dari bahasa Arab yaitu al- Qiblat yang berarti arah dimana manusia menghadap. Al Qiblat berasal dari al al Muqabalah dan al Istiqbal.  Dinamakan al Qiblat karena seorang yang melakukan sholat menghadap ke arahnya. ( Abu Hafsh Sirojuddin Umar, Tafsir al Lubab fi Ulumi al Kitab)
Hukum Menghadap Kiblat
Menghadap Kiblat merupakan syarat sah sholat bagi yang mampu menurut kesepakatan para ulama. (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111,  Khotib Syarbini, Mughni Muhtaj Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah  : 1/ 331) . Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Berkata Ibnu al Arabi: “ Asy Syathr secara etimologi berarti setengah dari sesuatu, tapi kadang juga diartikan “arah atau maksud “ . Dan ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, baik yang bisa melihat Ka’bah maupun yang tidak bisa melihatnya “ ( Ahkam al Qur’an, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 64, Qurtubi : 2/107-108 )
Begitu juga dengan hadist nabi Muhammad saw :
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian  menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim )
Kedua perintah di dalam ayat dan hadist di atas mempunyai arti wajib, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari artinya yang asli.
Cara Menghadap Kiblat
Untuk mengetahui bagaimana cara menghadap kiblat, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa orang yang sholat mempunyai dua keadaan :
Keadaan Pertama : Orang yang sholat tersebut berada di depan Ka’bah atau mampu melihat Ka’bah secara langsung. Dalam keadaan seperti ini, maka dia harus menghadap langsung ke bangunan Ka’bah. Jika dia tidak menghadap kepada bangunan Ka’bah dan melenceng walaupun sedikit, maka sholatnya tidak sah.
Ibnu Qudamah berkata : “Kemudian jika seseorang langsung melihat ka’bah, maka wajib baginya ketika sholat untuk menghadap langsung ke bangunan Ka’bah, kami tidak mengetahui adanya perselisihan antara para ulama dalam masalah ini. Berkata Ibnu ‘Aqil : “Jika sebagian arahnya melenceng dari bangunan Ka’bah, maka shalatnya tidak sah’.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Beirut, Dar al Kitab al Araby, 1/ 456 ) Bisa dirujuk pula Tafsir al- Qurtubi : 2/108
Keadaan Kedua : adalah orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung
Dalam keadaan kedua ini, para ulama berbeda pendapat  tentang caranya, apakah harus mengenai bangunan ka’bah atau cukup menghadap ke arahnya saja ?
Pendapat Pertama : bahwa orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung, ia tetap harus menghadap ke bangunan Ka’bah, serta  tidak boleh melenceng sekitpun.  Ini adalah pendapat sebagian ulama .
Mereka berdalil dengan firman Allah swt :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke Ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144)
Begitu juga dengan hadist Ibnu Abbas ra :
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ
Dari Ibnu Abbas ra,  berkata, "Ketika Nabi saw masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat dua rakaat di depan Ka'bah, lalu bersabda: "Inilah kiblat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat Kedua : bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah dan itu cukup dengan persangkaan kuatnya.  Ini adalah pendapat Mayoritas Ulama dari kalangan  Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil dari pendapat kedua  ini adalah sebagai berikut :
Dalil Pertama :
Firman Allah swt :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144).
Berkata Ibnu Al Arabi : “ Bahwasanya Allah swt ingin memberitahukan bahwa siapa saja yang letaknya jauh dari Ka’bah, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya saja, bukan bangunannya, karena sangat susah menghadap ke bangunannya, bahkan itu tidak mungkin bisa dilaksanakan kecuali bagi yang melihatnya secara lagsung  “ (Ahkam al Qur’an : 1/ 64 )
Berkata Shon’ani : “ Ayat di atas menunjukkan bahwa cukup menghadap arah Kiblat saja, karena untuk menghadap ke bangunan Ka’bah tidaklah bisa dilakukan oleh setiap orang yang melakukan sholat di setiap tempat. “ ( Subulus Salam, Dar al Kutub al IImiyah :  1/ 251 )
Dalil Kedua :
Sabda Rasulullah saw :
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih.)
Dewan Fatwa Dan Penilitian Ilmiyah  Arab Saudi no : 3534 ( 6/ 313 ) menyatakan tentang hadist di atas sebagai berikut : “ Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya yang berada di utara Ka’bah atau yag berada di selatan Ka’bah. Yang nyata dalam hadist ini bahwa antara timur dan barat adalah Kiblat.  Adapun yang berada di barat atau timur Ka’bah, maka kiblatnya adalah antara utara dan selatan. “
Hal serupa juga disampaikan oleh Syekh Sholeh bin Utsaimin di dalam Majmu’ Fatawanya ( 12/341 ). Bahkan oleh ulama-ulama sebelumnya seperti Imam Ibnu Abdul Barr di dalam al Istidzkar ( 2/458) dan at Tamhid ( 17/58 ) , Asy-Syaukani di dalam Nailul Author( 3/253 ).
Dalil Ketiga :
Hadist Abu Ayyub al Anshori ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda    :
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلا غَائِطٍ ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا.
“ Jika kalian mendatangi toilet maka janganlah menghadapi ke arah kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya baik dalam keadaan buang air kecil maupun buang besar, tetapi menghadapilah ke timur atau ke barat. “ ( HR Bukhari, no : 144 dan Muslim, no : 264)
Berkata Syekh Islam Ibnu Taimiyah : “ Hadist di atas menjelaskan bahwa selain menghadap ke timur dan barat dikatagorikan menghadap atau membelakangi kiblat. Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan yang berada di sekitarnya. ( Syarh al Umdah : 3/ 434 )
Artinya bahwa bagi penduduk Madinah, sepanjang mereka   menghadap arah selatan, baik menghadap selatan secara lurus, atau melenceng ke timur sedikit atau ke barat sedikit, maka tetap dikatagorikan menghadap Kiblat.
Dalil Keempat :
عن نافع أن عمر بن الخطاب قال (ما بين المشرق والمغرب قبلة إذا تُوُجِّه قِبَلَ البيت).
Dari Nafi’bahwasanya Umar bin Khattab berkata : “antara Timur dan Barat adalah Kiblat, jika menghadap ke arah Ka’bah “ ( HR Imam Malik di dalam al Muwatho’ )
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdul al Barr di dalam  at Tamhid : ( 17 / 58 )
Dalil Kelima :
Bahwa jama’ah sholat di masjid – masjid yang besar dan shofnya sangat panjang melebihi panjangnya bangunan Ka’bah, para ulama telah sepakat bahwa sholat mereka sah, padahal secara yakin mereka tidak menghadap ke bangunan ka’bah.
Berkata Ibnu Rajab al Hanbali : “ Para ulama telah sepakat bahwa shof dalam sholat yang sangat panjang yang letaknya jauh dari Ka’bah dinyatakan sah. Padahal telah diketahui bahwa tidak mungkin semuanya menghadap ke bangunan Ka’bah “ ( Ibnu Rajab, Fath al Bari :  3/142 ) .
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Syarh al Umdah : 3: 434, Ibnu Al Arabi di dalam Ahkam al Qur’an : 1/65, al Qurtubi di dalam tafsirnya : 2 /107 ) ,
Dalil keenam :
Mewajibkan orang sholat yang tidak bisa melihat  Ka’bah dan  jauh darinya untuk tetap menghadap bangunan Ka’bah adalah mewajibkan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, dan akan sangat menyulitkannya, padahal Islam adalah agama yang mudah.   Berkata Ibnu Rusydi : “ Seandainya diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, maka hal itu sangat menyulitkan, padahal agama itu mudah. Allah swt berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
 Dan Allah tidaklah menjadikan bagi kamu dalam agama ini sesuatu yang menyulitkan “ ( Qs Al Haj : 78 ) (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111,)
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa arah kiblat untuk penduduk Indonesia yang letaknya di sebelah timur Ka’bah adalah barat. Yang paling tepat adalah menghadap ke arah barat laut, tetapi jika melenceng sedikit sehingga menghadap barat lurus, selama masih arah barat, maka sholatnya dikatakan sah.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia tidak perlu ribut dan tengkar dalam masalah ini, karena semuanya sah. Masjid-masjid yang sudah terlanjur menghadap barat atau melenceng sedikit tidak perlu dipugar, atau bahkan tidak perlu dimiringkan karpetnya, khususnya jika hal  itu akan menimbulkan fitnah di masyarakat. Dan perlu diketahui juga bahwa masjid-masjid besar dipastikan sebagian jama’ahnya tidak akan menghadap bangunan ka’bah secara yakin, karena bangunan Ka’bah lebih kecil dari masjid – masjid tersebut. Walaupun begitu tidak ada satupun ulama yang mengatakan sholat mereka batal. Kenapa kita mesti ribut. Wallahu A’lam.
Solo, 7 Agustus 2010
READ MORE - Polemik Arah Kiblat

METODE PENGGUNAAN RU’YAH DAN HISAB DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERSATUAN (Bag.2)

0 komentar

Munaqosyah dan Tarjih :
Sebelum mentarjih dua pendapat di atas, sebenarnya kami ingin mendiskusikan dahulu dalil yang dipakai oleh dua kelompok tersebut, secara rinci sesuai dengan reevensi yang tersedia, namun karena waktu tidak mengijinkan hal itu, maka kami ringkas pandangan kami dalam point-point di bawah ini dengan menyertakan sedikit diskusi, walau sekilas.
Pertama : Menyatukan kaum muslimin dalam satu rukyat adalah sesuatu yang mustahil, dikarenakan wujud hilal setelah terpisah dari sinar matahari berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Begitu juga, terbenamnya matahari waktunya berbeda antara satu daerah dengan yang lain, sebagaimana yang telah di sebutkan di atas. Bahkan jika pada suatu tempat, seperti : Mesir , matahari sudah mulai tenggelam, pada waktu yang sama di Amerika , waktu masih pagi, sehingga kita tidak mungkin mewajibkan orang Amerika untuk berpuasa dengan rukyat penduduk Mesir. Oleh karenanya itu hadits
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Tetap berlaku umum, akan tetapi khusus bagi yang satu mathla’ atau semua derah yang rukyatnya dimungkinkan bisa di lakukan setelah matahari terbenam.
Atau kita katakan bahwa hadits tersebut masih bersifat umum, dan dikhusukan oleh hadits Kuraib, yang membedakan antara mathla, Hijaz dengan Matla’ Syam.
Kedua : bagi yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas menolak rukyat yang digunakan Muawiyah yang di Syam karena beberapa hal;
  • Ibnu Abbas menganggap Kuraib hanya seorang yang kesaksiannya tidak bisa dipakai di dalam menentukan awwal bulan Syawwal maka kita jawab bahwa bahwa Kuraib di dalam hadits tersebut menyebutkan bahwa bukan hanya dia aja yang melihat bulan di Syam, akan tetapi penduduk Syam yang lain juga turut melihatnya . Berarti saksinya lebih dari satu. Taruhlah, kalau kritikan tersebut kita terima, namun di sana ada sebagian ulama membolehkan satu orang saksi saja yang menyebutkan bahwa dia melihat bulan, sebagaimana yang di anut oleh Abu Tsaur dan didukung Ibnu Rusydi
  • Yang menganggap bahwa penolak Ibnu Abbas tersebut bersifat politis, akibat kurang harmonis hubungan IbnuAbbas dengan Muawiyah, karena Ibnu Abbas tidak setuju dengan mekanisme pengangkatan Muawiyah sebagai kholifah. Menurut pandngan Kami bahwa memasukkan unsur- unsur politik di dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fikih adalah kurang tepat, apalagi itu menyangkut perilaku para sahabat yang kita yakini bahwa mereka adalah ‘’ udul “ ( bukan berarti maksum) sebagaimana yang di tetapkan oleh Allah di dalam Qs AT Taubah dan juga dijadikan standar oleh ahli hadits bahwa riwayat para sahabat semuanya di terima. Di dalam ilmu Ushul Fikih unsur politik tidak dianggap sesuatu yang bisa dijadikan hujjah di dalam mengistinbatkan suatu hukum.
Yang ketiga : Dalam hal ini, menurut pandangan kami , diantara pendapat- pendapat ulama yang ada, maka pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang tengah ( wasath ) , yaitu yang mengatakan bahwa wilayah- wilayah berdekatan, yaitu yang mathla’nya satu , maka rukyat yang dipakai adalah satu, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Nawawi( dari madzhab Syafi’I ) , Ibnu Abdul Barri, Ibnu Arafah ( Dari madzhab Maliki ) . Atau yang rukyatnya dimungkinkan ba’da ghurub, menurut ungkapan Syeh Bukahit Muti’i. Adapun wilayah- wilayah yang jaraknya sangat berjauhan sekali, seperti Marokko dengan Cina maka masing-masing hendaknya memakai rukyatnya sendiri-sendiri. Pendapat di atas, juga meruapakan salah satu hasil kesepakatan Konferensi Ulama Lembaga Riset Islam Al Azhar ke III, yang di adakan di Kairo pada tanggal 27 Oktober 1966.
Keempat : Bagi yang mengusulkan agar Mathla’ Mekkah di jadikan pemersatu umat Islam di dalam menghadapi waktu- waktu ibadah, agaknya sulit di wujudkan, kalau tidak dikatakan mustahil. Karena mereka akan menemukan beberapa kesulitan yang tidak bisa terpecahkan, seperti jika penduduk Marokko dan sekitarnya berpuasa dengan menggunakan rukyat Mekkah, maka mereka hanya berpuasa selama 28 hari saja, karena jika bulan telah terlihat di Mekkah pada hari ke 29 Romadlan, maka penduduk Marokko yang waktu itu masih siang, harus berbuka dengan mengikuti rukyat Mekkah. Jika mereka tetap berpuaa , maka berarti mereka telah meninggalkan rukyat Mekkah dan kembali mengguakan rukyat Maghrib.
Barangkali yang lebih rasional dan kemungkinan bisa di wujudkan adalah apa yang telah menjadi kesepakatan antara Sekjen OKI DR. Syarifuddin Yazardah dengan Shekh Azhar , Jaad al Haq Ali Jaad al –Haq pada tanggal 16/ 2/ 1987 untuk membuat Pusat Pemantuan Bulan yang bersifat Ilmiyah dan sesuai dengan Syare’at di Mekkah dan Madinah, dengan melihat segala bentuk perbedaan setiap wilayah yang berbeda mathla’nya. Kemudian hasil penelitian dan pemantuan tersebut di sebarkan kepada seluruh kau muslimin.
Kelima : Dari keterangan diatas, seharusnya lembaga resmi Pemerintah yang ditunjuk untuk mengurusi penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawwal di setiap Negara , tidak hanya mengandalkan hasil rukyat atau penelitian sendiri. Diharapkan dari mereka untuk selalu melakukan hubungan dengan Lembaga yang sama di Negara- negara lainnya, khususnya yang wilyahmya berdekatnya, seperti Mesir dan Saudi Arabi, dan negara-negara sekitar. Indonesia dan Malaysia serta Negara-negara sekitar. Marokko dan Al Jazazir serta negara-negara sekitar. Sehingga apa yang telah diputuskan oleh Konferensi Ulama Lembaga Riset Azhar di atas bisa diwujudkan dan kesatuan kaum muslimin tidak terpcah-pecah, paling tidak dengan negara-negara tetangga.
Keenam : Walaupun begitu, kenyataan yang kita saksikan para Lembaga yang di tunjuk untuk menangani msalah ini, dalam praktiknya belum bisa melaksanakan apa yang di harapkan diatas. Banyak faktor yang menghambat mereka untuk bisa saling kerja sama, diantaranya adalah perbedaan di dalam enentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawwal, sebagian Negara mengandalkan pada Rukyat Bashoriyah sedang di Negara lain menggunakan hisab, yang kadang-kadang hasilnya tidaksama, walaupun negara-negra tersebut saling berdekatan. Sebut saja , sebagai contoh : adalah terjadinya perbedaan di dalam memulai bulan Ramadlan tahun 1990 antara Mesir, yang dimulai pada hari Rabu tanggal 28 Maret 1990 dengan negara-negara tetangga seperti Saudi dan sekitarnya yang waktu itu berjumlah sembilan negara, yang bulan Ramadlannya dimulai pada hari selasa 27 Maret 1990.
Ketujuh : Masalah yang di hadapi oleh Umat Islam pada point keenam diatas akan menyebabkan dampak yang negatif bagi para penduduk di negara masing-masing. Karena barangkali sebagian mereka ingin mengikuti hasil rukyat negara tetangga. Sementara sebagian masyarakat tetap mengikuti hasil rukyat atau penelitian Pemerintahnya. Sehingga menimbulkan perpecahan diantara kaum muslimin pada negara tesebut. Masing-masing dari mereka mengadakan sholat Ied pada hari yang mereka maui. Seperti yang terjadi di Idonesia berkali-kali.
Untuk menghadapi kenyataan seperti itu, maka harus dicarikan solusi yang tepat dan sesuai dengan syre’at Islam untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini . Untuk kami menawarkan beberapa langkah strategis ;
1/Hendaknya lembaga swasta yang memperhatikan masalah ini, seperti Muhammadiyah , NU, PERSIS dan Pemerintah mengadakan kerjasama di dalam melakukan rukyat atau penelitian untuk menetapkan awal bulan. Sebaiknya, sebagaimana yang telah di terangkan di atas semuanya mengunakan rukyat bashoriyah selama hal itu memungkinkan dengan syarat-syaratnya, karena rukyat seperti ini biasanya tidak menimbulkan banyak perbedaan.
2/Seandainya poin pertama tidak bisa diwujudkan karena masing-masing tetap bersitegamg memegang pendapatnya masing- masing dan tidak saling menaruh kepercayaan pada pihak yang lain, maka Lembaga-lembaga swasta boleh- boleh saja memegang pedapatnya, akan tetapi di dalam praktek lapangannya harus merujuk dan mengikuti apa yang telah di tetapkan oleh Pemerintah . Artinya : Jika pemerintah Indonesia telah menetapkan awwal Bulan Syawwal hari Rabu umpanya, sedang Lembaga Swasta menyakini dari hasil risetnya bahwa awal bulan Syawwal adalah hari Selasa, maka dibolehkan bagi mereka untuk berbuka pada hari Selasa, akan tetapi tidak boleh melaksanakan Sholat Ied , kecuali pada hari Rabu , sebagaimana yang telah di tetapkan oleh Pemerintah. Dan begitu pula sebaliknya.
Landasan Syar’I dari langkah yang kami usulkan itu adalah sbb :
- Penetapan awwal bulan Syawwal adalah masalah Ijtihadiyah ( furu’ ) , yang seseorang dibolehkan untuk meninggalkannya demi melaksanakan dasar agama (ushul ) yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan yaitu persatuan. Kaum muslimin salaf dan kholaf, semenjak sahabat hingga sekarang telah melaksanakan hal seperti ini di dalam peribadatan mereka, diantaranya yang paling menyolok adalah ibadah sholat. Mereka tetap melakukan sholat jama’ah di belakang Imam yang tidak satu madzhab.
- Masalah di atas, ternyata setela di teliti terdapat dalam literatur Fikih, yaitu masalah kewajiban di dalam melaksanakan ibadah dengan dasar “ Mur’atu al Khilaf “ ( Memperhatikan perbedaan pendapat ) . Sepeti apa yang dilakukan oleh Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki
- Juga terdapat masalah serupa , yaitu jika seseorang melihat hilal bulan Ramadlan sendiri danmelihat hilal bulan Syawwal sendiri, apakah dia berpuasa dan berbuka sendiri, ataukah dia harus berpuasa dan berbuka bersama masyarakat ?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini,menjadi 3 pendapat,dan yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan dia harus berpuasa dan berbuka bersama masyarakat lainnya. Dengan landasan hadist :
( الصوم يوم تصومون ، والفطر يوم تفطرون والأضحى تضحون )
Juga landasan dari segi bahasa , bahwa asal arti hilal adalah dari kata “ istahalla bihi “ yaitu apa yang sudah dikumadangkan dan diumumkan oleh manusia.
- Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyebutkan :
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Meninggalkan ibadah sesuai dengan apa yang di pahami dan diyakini adalah mudharat, akan tetapi perpecahan antara kaum msulimin juga mudharat,bahkan lebih besar. Oleh karenanya kita meninggalkan ibadat yang kita yakini walaupun itu mudharat , akan tetapi bisa menghindari madharat yang lebih besar , yaitu perpecahan.
- Dalam hal ini langkah Pemerintahpun telah sesuai dengan salah satu pendapat para ulama, yaitu bahwa setiap wilayah mengamalkan mathla’nya masing-masing. Sehingga kaum muslimin harus mentaatinya. Kejadian serupa pernah dialami oleh masyarakat Mesir pada bulan Ramadlan 1990, yang terpecah karena sebagian masyarakatnya tidak mengikuti keputusan yang dikeluarkan oleh Dar Ifta’ yang di jadikan sandaran oleh Pemerintahan Mesir. Melihat gelagat yang tidak sehat seperti itu, Syekh Jad Al-Haq, walaupun tidak sependapat dengan Dar Ifta’, akan tetapi beliau menghimbau seluruh masyarakat Mesir untuk mentaati apa yang telah di tetapkan oleh Dar Ifta’ guna menghindari perpecahan. Sehingga sampai sekarang masyarakat Mesir seragam di dalam memulai ibadat puasa dan dalam melaksanakan sholat Idhul Fitri dan Idhul Adha. Walaupun sebagain dari masyarakatnya, barangkali melaksanakan keyakinanannya secara sembunyi- sembunyi untuk menghindari fitnah dan perpecahan. Dan ini bisa terlaksana, karena di dukung dengan kekuatan Negara.
* * *
* Makalah ini dipresentasikan di Majlis Tarjih PCIM ( Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah ) Kairo, pada tanggal 26 September 2003 di Sekretariat PCIM Kairo., dan dipresentasikan pada Musyawarah Nasional ( MUNAS ) Tarjih Muhammadiyah di Padang, tanggal 1-5 Oktober 2003.
Q.S. Al Baqarah (2 ) , ayat : 189
QS Al Baqarah (2 ) , ayat : 185
QS. Al Baqarah (2 ) , ayat : 226
QS. Al Baqarah (2 ) , ayat : 234
QS. Al Mujadilah, ayat : 4
Ada yang menafsirkan bahwa kata “ umi “ dinisbahkan kepada al Umm , yang berarti ibu. Artinya bahwa seorang ummi dimisalkan sebagai seorang bayi yan baru lahir dari perut ibunya dan belum belajar menulis dan menghitung ( lihat Abu al-Ishaq al Syatibi, al Muwafaqot , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t. jilid : 1 , juz ; 2, hlm : 53 ) lihat juga Imam Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Kairo : Dar al Hadits , 1994, Cet I , jilid 4, hlm : 207 )
Syekh Abdullah Darroz di dalam mengomentari pernyataan Syatibi, menyebutkan dua hikmah dari syareah yang bersifat ummiyah ini : pertama , bahwasanya para sahabat yang belajar langsung dari Rosulullah saw adalah orang-orang yang ummiyun dalam arti mereka dalam keadaan fitrah. Kedua, karena kalau syare’at Islam ini tidak bersifat ummiyah, maka tidak akan bisa menyentuh kalangan bangsa Arab dan bangsa lain yang mayoritas akan mendapatkan kesulitan untuk memahami perintah- perintah dan larangan-larangan di dalamnya yang membutuhkan sarana ilmiyah , dan hal itu akan mengakibatkan mereka kesulitan di dalam melaksanakannya. Ini di dalam masalah kewajiban dan tugas. Adapun yang berkaitan dengan pengungkapan rahasia alam yang menunjukkan kebesaran Allah, maka barang kali inilah peran orang – orang yang berilmu. Dan perlu di catat juga bahwa tidak semua kewajiban- kewajiban syare’at bisa di ketahui oleh orang banyak, karena jika keadaannya demikian, berarti tidak ada perbedaan antara ulama dan masyarakat awam. ( Ibid )
HR Bukhari Muslim
Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, jilid 25, hlm : 170-173.
Ibid , jilid 25, hlm : 173-174
Hadist- hadits tentang rukyat aka di sebutkan diantaranya pada pembahasan tentang penjelasan dalil tentang penggunaan ilmu hisab.
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama, Jokyakarta : Penerbit Suara Muhammadiyah, 1997, jilid 4 , hlm : 182-183
menurut Basit Wahid sebagaimana yan dikutip oleh T. Jamaluddin model “ wujudul hilal” inilah yang telah digunakan Muhammadiyah sejak 1969. (lihat Tim Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Cara Muhammadiyah Menetapkan Awal Ramadlan dan Syawal 1423 H , yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah edisi 24, Desember 2002. )
Ibid.
Lihat buku “ Bayan li annas min al Azhar Syarif “ jilid, 200, yang menukil dari koran “ Liwa’ Islamy “ tertanggal 12/ 6/ 1986.
Ibid .
TIM PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Op. Cit., , jilid ; 3, hlm : 153-154. Sebagai pembanding bisa dilihat Ibnu Taimiyah. Op.Cit, jilid 25, hlm : 183-190
Ibnu Taimiyah ,op cit, jilid hlm:207
Prof. Drs. H. Asmuni, Manhaj Tarijih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, Jokyakarta, : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I , vi
Ibnu Taimiyah , Op. Cit, jilid 25, hlm : 134, 142 .
Hadist Riwayat Muslim ( Syrah Shohih Muslim , jilid 4, hlm 202 , hadist no : 1080 )
Ibid
Prof Drs Asjmuni Abdurohman , Opcit , hlm : 99
Ibid. Ini juga berlaku ketika hadits tetang rukyah di kaitkan dengan hadist bahwa umat Islam adalah uma yang Ummiyah . Begitu pula jika dikaitkan dengan prinsip Taysir.
Sebagaimana yag disebut oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayah al Mujtahid, dan dinukil oleh Prof. Drs. Abdurrohman , di Manhaj Tarjih hlm : 224, lihat juga An Nawawi (ibid ) .
Imam Al Nawawi , al -Majmu’ Syarh al Muhadzzab, Beirut : Dar al Fikri, 1996, Cet: I, jilid : 6, hlm : 282
Ibid, jilid : 6, hlm : 283
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih , Op. Cit Jilid : 3 , hlm 151. Tetapi setelah ditemukan referensi lainnya dalam masalah ini, kami memaklumi sikap yang diambil oleh Muhammadiyah.
Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman. Op. Cit. hlm : 224
Suara Muhammadiyah edisi 24 , Desember 2002.
Jalaluddin al Mahalli, Syarh al Waraqat , Kairo : Mushtofa al Halbi, 1955 M, Cet ; II. hlm : 8
Suara Muhammadiyah,edisi 24, Desember 2002
Ibid
Prinsip Taysir sebagaimana yang ada dalam Manhaj Tarjih adalah pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama dengan makna yang luas dan tida sempit,sehingga mudah mengamlkannya tanpa diberat- beratkan . Dan yang dimaksud mudah mengamalkan ajaran agama adalah mengamalkan agama itu sesuaidengan yang diperintahkan dala al Qur’an dan al Sunnah , tidakmenambah-nabah yan akan diberikan serta tidaktakaluf ( lihat Pros Dr. Asjmuni Abd, Op cit, hlm: 42 )
Pernyataan seperti ini pernah di sampaikan pula oleh sekertaris Umum Muhammadiyah, Drs. Haidar Nashir Msc, pada dialog dengan mahasiswa pasca sarjana di PCIM, Kairo Mesir pada tanggal 16 September 2003 yang lalu.
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Op. Cit., jilid : 3, hlm : 151
Bayan linnas, op. cit, jilid : 2, hlm : 199
syekh Jad al- Hahaq 1/ 527.
. Fatwa tersebut tertulis tanggal 20 Robi’ul Awwal 1320 H, dan terdapat pada buku induk Daral Ifta’ no 13 . ( lihat DR. Muhammad Imaroh , al A’malal Kamilah li al-Imam Syekh Muhammad Abduh, Kairo: Dar al Syuruq , 1993, Cet. I , juz 2, hlm 512-513 )
Dalam fatwa lain di sebutkan : “ Syareat Islam adalah syre’at yang luwes, dan umum serta encakup euruh anusia dan jin pada seluruh jajaran ulama dan masyarakat awam, di perkotaan dan pedesaan. Ole karenanya, Allah memberikan kemudahan kepada mereka untuk mengetahui waktu- wakt ibadah . Untuk itu Allah meletakan waktu mulai dan selesainya, tanda- tanda yang kebanyakan manusia mengtahuinya, seperti terbenamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu maghrib an habisnya waktu Ashar, hilangnya Syafaq merah , sebagai tanda asuknya wakt Isya’, Dan menjadikan rukyta ( meliha ula ) setelah tersembunyi pada akhir bulansebagai tanda dimulai bulan baru dan selsainya bulan yang lalu. Dan Aah tidak membebani kita untukmengetahui bulan qomariyah denga sesuatu yang tidka diktahui kcuali oleh segelintir orang, yang di sebut dengan ilmu astronomi atau ilmu hisab/falak. ..dst ( lihat Syekh Ahmad bin Abd al-Rozaq al Duwaisy , Fatawa al- Ljanah al Daimah li al Buhuts al ilmiyah wa al ifta’ , Uli al Nuha li al Intaj al I’lami , 2003, Cet IV, jilid : 10, hlm : 104-105 )
Ibid , jilid 10 , hlm 106-107 .
HR Muslim ( lihat An Nawawi , Syrah Shohih Muslim , 4, hlm 211 Kitab Shiyam , hadits no : 1087 )
lihat Ibnu Abidin, Roddu al Mukhtar ala al Durr al Mukhtar, Beirut : Dar Ihya al Arobi, 1987, Cet II, jilid : 2, hln : 96. Syekh Bukhoit Mutho’I, 274.
lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujatahid wa nihayah al Maqosid, Dar al Fikr, jilid 1, hlm : 210
Syekh Bukhoit Muthi’I , Irsyad ahl alMillah ila istbat al Ahilah, Al Jamaliyah : Kurdistan Ilmiyah, 1329 H, hlm 274.
Syakir, 17-18
An Nawawi, op.cit. 6/275,
ibid
Ibid 6/ 275
Syekh Bukhoit Muthi’I, op.cit hlm, 278 , sebagai pembanding bisa dilihat Muhammad al Zamzami bin Muhammad bin al Siddiq al Thonji, Kitab Hilal bi dalil mura’atu ikhtilaf matholi’ial Ahillah fial Aqthor, Thonjah: Kiroman, hlm 2
AnNawi, op.cit , Syekh Ahmad Muhammad Syakir , op. cit hlm : 18
Syekh Bukhoit Muti’I hlm 277
Ibnu Abdidin, Hasyiah, 2/96
lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujatahid wa nihayah al Maqosid, Dar al Fikr, jilid 1, hlm : 210
An Nawi, Shohih Muslim : 4/ 212
Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughni, Beirut : Dar al Kitab- al Aroby, 1983, jiid 3, hlm : 7. Ibnu Mardawaih, al Inshof fi Ma’rifati al Rojih mi al Khilaf fi madzhab al Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Muhammad Hamid Fiqhi, 1956, Cet I , jilid 3, hlm : 269. Syekh Bukhit al Muthi’I op.cit hlm : 276
Mughni 3/7
Ahmad Muh. Syakir, Awail al Syhur al Arabiyah hal yajuzu syar’an itsbatuha bi alHisab al Falaki , Kairo : Musthofa al Babi, 1939, hlm : 19
Pendapat seperti itu, juga pernah ditawarkan oleh Drs. H. Ismail Thaib sebagai Ketua Bagian Fatwa Majlis Tarjih dan PPI Pimpinan Pusat Muhamadiyah di Yogyakarta, walupun dengan menggunakan argumen yang berbeda. ( lihat Majalah Suara Muhammadiyah, no 6, 16-31 Maret 2003 M )
Q.S. Al Baqarah (2 ) , ayat : 189
Syekh Ahmad Muhammad Syakir, op. cit, hlm 28.
Syekh Bukhait AlMuthi’I, op.cit hlm281
Zamzami, hlm 2
Bidayah,1/ 209
Alasan ini diugkapkan oleh Drs H Ismail Thaib didalam Suara Muhammadiyah no6
Bukahit 281
Syekh Jadal Haq Ali Jad al Haq , Buhuts wa Fatawa Islamiyah wa Qodhoya Mu’ashirah, Kairo : Al Azahar al Syarif, Cet II, jilid 1, hlm 527.
Zazami 4-5
Syekh Jadal Haq Ali Jad al Haq , Buhuts wa Fatawa Islamiyah wa Qodhoya Mu’ashirah, Kairo : Al Azahar al Syarif, Cet II, jilid 1, hlm 505
Untuk bisa melihat lebih luas masalah ini dengancontoh- contohnya, bisa dilihat di DR.Muhammad Hasan Khittob, Mur’atu al Khilaf wa atsaruha fial fiqh al Islamy , Desertasi pada universitas Al Azhar , bidang Ushul Fiqih, masih berupa manuskrip 1982
Ibnu Taimiyah,25/ 114-115
Ali Ahmad alNadawi, al Qowaid al Fiqhiyah, Damaskus : Dar al Qolam, 1994, Cet III, hlm : 311
Jad al haq 1/ 568.
READ MORE - METODE PENGGUNAAN RU’YAH DAN HISAB DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERSATUAN (Bag.2)

Followers

 

Lembaga Kajian Islam Purwokerto. Copyright 2012 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Free Blogger Templates Converted into Blogger Template by Bloganol dot com