Munaqosyah dan Tarjih :
Sebelum mentarjih dua pendapat di atas, sebenarnya kami ingin mendiskusikan dahulu dalil yang dipakai oleh dua kelompok tersebut, secara rinci sesuai dengan reevensi yang tersedia, namun karena waktu tidak mengijinkan hal itu, maka kami ringkas pandangan kami dalam point-point di bawah ini dengan menyertakan sedikit diskusi, walau sekilas.
Pertama : Menyatukan kaum muslimin dalam satu rukyat adalah sesuatu yang mustahil, dikarenakan wujud hilal setelah terpisah dari sinar matahari berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Begitu juga, terbenamnya matahari waktunya berbeda antara satu daerah dengan yang lain, sebagaimana yang telah di sebutkan di atas. Bahkan jika pada suatu tempat, seperti : Mesir , matahari sudah mulai tenggelam, pada waktu yang sama di Amerika , waktu masih pagi, sehingga kita tidak mungkin mewajibkan orang Amerika untuk berpuasa dengan rukyat penduduk Mesir. Oleh karenanya itu hadits
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Tetap berlaku umum, akan tetapi khusus bagi yang satu mathla’ atau semua derah yang rukyatnya dimungkinkan bisa di lakukan setelah matahari terbenam.
Atau kita katakan bahwa hadits tersebut masih bersifat umum, dan dikhusukan oleh hadits Kuraib, yang membedakan antara mathla, Hijaz dengan Matla’ Syam.
Kedua : bagi yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas menolak rukyat yang digunakan Muawiyah yang di Syam karena beberapa hal;
- Ibnu Abbas menganggap Kuraib hanya seorang yang kesaksiannya tidak bisa dipakai di dalam menentukan awwal bulan Syawwal maka kita jawab bahwa bahwa Kuraib di dalam hadits tersebut menyebutkan bahwa bukan hanya dia aja yang melihat bulan di Syam, akan tetapi penduduk Syam yang lain juga turut melihatnya . Berarti saksinya lebih dari satu. Taruhlah, kalau kritikan tersebut kita terima, namun di sana ada sebagian ulama membolehkan satu orang saksi saja yang menyebutkan bahwa dia melihat bulan, sebagaimana yang di anut oleh Abu Tsaur dan didukung Ibnu Rusydi
- Yang menganggap bahwa penolak Ibnu Abbas tersebut bersifat politis, akibat kurang harmonis hubungan IbnuAbbas dengan Muawiyah, karena Ibnu Abbas tidak setuju dengan mekanisme pengangkatan Muawiyah sebagai kholifah. Menurut pandngan Kami bahwa memasukkan unsur- unsur politik di dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fikih adalah kurang tepat, apalagi itu menyangkut perilaku para sahabat yang kita yakini bahwa mereka adalah ‘’ udul “ ( bukan berarti maksum) sebagaimana yang di tetapkan oleh Allah di dalam Qs AT Taubah dan juga dijadikan standar oleh ahli hadits bahwa riwayat para sahabat semuanya di terima. Di dalam ilmu Ushul Fikih unsur politik tidak dianggap sesuatu yang bisa dijadikan hujjah di dalam mengistinbatkan suatu hukum.
Yang ketiga : Dalam hal ini, menurut pandangan kami , diantara pendapat- pendapat ulama yang ada, maka pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang tengah ( wasath ) , yaitu yang mengatakan bahwa wilayah- wilayah berdekatan, yaitu yang mathla’nya satu , maka rukyat yang dipakai adalah satu, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Nawawi( dari madzhab Syafi’I ) , Ibnu Abdul Barri, Ibnu Arafah ( Dari madzhab Maliki ) . Atau yang rukyatnya dimungkinkan ba’da ghurub, menurut ungkapan Syeh Bukahit Muti’i. Adapun wilayah- wilayah yang jaraknya sangat berjauhan sekali, seperti Marokko dengan Cina maka masing-masing hendaknya memakai rukyatnya sendiri-sendiri. Pendapat di atas, juga meruapakan salah satu hasil kesepakatan Konferensi Ulama Lembaga Riset Islam Al Azhar ke III, yang di adakan di Kairo pada tanggal 27 Oktober 1966.
Keempat : Bagi yang mengusulkan agar Mathla’ Mekkah di jadikan pemersatu umat Islam di dalam menghadapi waktu- waktu ibadah, agaknya sulit di wujudkan, kalau tidak dikatakan mustahil. Karena mereka akan menemukan beberapa kesulitan yang tidak bisa terpecahkan, seperti jika penduduk Marokko dan sekitarnya berpuasa dengan menggunakan rukyat Mekkah, maka mereka hanya berpuasa selama 28 hari saja, karena jika bulan telah terlihat di Mekkah pada hari ke 29 Romadlan, maka penduduk Marokko yang waktu itu masih siang, harus berbuka dengan mengikuti rukyat Mekkah. Jika mereka tetap berpuaa , maka berarti mereka telah meninggalkan rukyat Mekkah dan kembali mengguakan rukyat Maghrib.
Barangkali yang lebih rasional dan kemungkinan bisa di wujudkan adalah apa yang telah menjadi kesepakatan antara Sekjen OKI DR. Syarifuddin Yazardah dengan Shekh Azhar , Jaad al Haq Ali Jaad al –Haq pada tanggal 16/ 2/ 1987 untuk membuat Pusat Pemantuan Bulan yang bersifat Ilmiyah dan sesuai dengan Syare’at di Mekkah dan Madinah, dengan melihat segala bentuk perbedaan setiap wilayah yang berbeda mathla’nya. Kemudian hasil penelitian dan pemantuan tersebut di sebarkan kepada seluruh kau muslimin.
Kelima : Dari keterangan diatas, seharusnya lembaga resmi Pemerintah yang ditunjuk untuk mengurusi penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawwal di setiap Negara , tidak hanya mengandalkan hasil rukyat atau penelitian sendiri. Diharapkan dari mereka untuk selalu melakukan hubungan dengan Lembaga yang sama di Negara- negara lainnya, khususnya yang wilyahmya berdekatnya, seperti Mesir dan Saudi Arabi, dan negara-negara sekitar. Indonesia dan Malaysia serta Negara-negara sekitar. Marokko dan Al Jazazir serta negara-negara sekitar. Sehingga apa yang telah diputuskan oleh Konferensi Ulama Lembaga Riset Azhar di atas bisa diwujudkan dan kesatuan kaum muslimin tidak terpcah-pecah, paling tidak dengan negara-negara tetangga.
Keenam : Walaupun begitu, kenyataan yang kita saksikan para Lembaga yang di tunjuk untuk menangani msalah ini, dalam praktiknya belum bisa melaksanakan apa yang di harapkan diatas. Banyak faktor yang menghambat mereka untuk bisa saling kerja sama, diantaranya adalah perbedaan di dalam enentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawwal, sebagian Negara mengandalkan pada Rukyat Bashoriyah sedang di Negara lain menggunakan hisab, yang kadang-kadang hasilnya tidaksama, walaupun negara-negra tersebut saling berdekatan. Sebut saja , sebagai contoh : adalah terjadinya perbedaan di dalam memulai bulan Ramadlan tahun 1990 antara Mesir, yang dimulai pada hari Rabu tanggal 28 Maret 1990 dengan negara-negara tetangga seperti Saudi dan sekitarnya yang waktu itu berjumlah sembilan negara, yang bulan Ramadlannya dimulai pada hari selasa 27 Maret 1990.
Ketujuh : Masalah yang di hadapi oleh Umat Islam pada point keenam diatas akan menyebabkan dampak yang negatif bagi para penduduk di negara masing-masing. Karena barangkali sebagian mereka ingin mengikuti hasil rukyat negara tetangga. Sementara sebagian masyarakat tetap mengikuti hasil rukyat atau penelitian Pemerintahnya. Sehingga menimbulkan perpecahan diantara kaum muslimin pada negara tesebut. Masing-masing dari mereka mengadakan sholat Ied pada hari yang mereka maui. Seperti yang terjadi di Idonesia berkali-kali.
Untuk menghadapi kenyataan seperti itu, maka harus dicarikan solusi yang tepat dan sesuai dengan syre’at Islam untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini . Untuk kami menawarkan beberapa langkah strategis ;
1/Hendaknya lembaga swasta yang memperhatikan masalah ini, seperti Muhammadiyah , NU, PERSIS dan Pemerintah mengadakan kerjasama di dalam melakukan rukyat atau penelitian untuk menetapkan awal bulan. Sebaiknya, sebagaimana yang telah di terangkan di atas semuanya mengunakan rukyat bashoriyah selama hal itu memungkinkan dengan syarat-syaratnya, karena rukyat seperti ini biasanya tidak menimbulkan banyak perbedaan.
2/Seandainya poin pertama tidak bisa diwujudkan karena masing-masing tetap bersitegamg memegang pendapatnya masing- masing dan tidak saling menaruh kepercayaan pada pihak yang lain, maka Lembaga-lembaga swasta boleh- boleh saja memegang pedapatnya, akan tetapi di dalam praktek lapangannya harus merujuk dan mengikuti apa yang telah di tetapkan oleh Pemerintah . Artinya : Jika pemerintah Indonesia telah menetapkan awwal Bulan Syawwal hari Rabu umpanya, sedang Lembaga Swasta menyakini dari hasil risetnya bahwa awal bulan Syawwal adalah hari Selasa, maka dibolehkan bagi mereka untuk berbuka pada hari Selasa, akan tetapi tidak boleh melaksanakan Sholat Ied , kecuali pada hari Rabu , sebagaimana yang telah di tetapkan oleh Pemerintah. Dan begitu pula sebaliknya.
Landasan Syar’I dari langkah yang kami usulkan itu adalah sbb :
- Penetapan awwal bulan Syawwal adalah masalah Ijtihadiyah ( furu’ ) , yang seseorang dibolehkan untuk meninggalkannya demi melaksanakan dasar agama (ushul ) yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan yaitu persatuan. Kaum muslimin salaf dan kholaf, semenjak sahabat hingga sekarang telah melaksanakan hal seperti ini di dalam peribadatan mereka, diantaranya yang paling menyolok adalah ibadah sholat. Mereka tetap melakukan sholat jama’ah di belakang Imam yang tidak satu madzhab.
- Masalah di atas, ternyata setela di teliti terdapat dalam literatur Fikih, yaitu masalah kewajiban di dalam melaksanakan ibadah dengan dasar “ Mur’atu al Khilaf “ ( Memperhatikan perbedaan pendapat ) . Sepeti apa yang dilakukan oleh Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki
- Juga terdapat masalah serupa , yaitu jika seseorang melihat hilal bulan Ramadlan sendiri danmelihat hilal bulan Syawwal sendiri, apakah dia berpuasa dan berbuka sendiri, ataukah dia harus berpuasa dan berbuka bersama masyarakat ?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini,menjadi 3 pendapat,dan yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan dia harus berpuasa dan berbuka bersama masyarakat lainnya. Dengan landasan hadist :
( الصوم يوم تصومون ، والفطر يوم تفطرون والأضحى تضحون )
Juga landasan dari segi bahasa , bahwa asal arti hilal adalah dari kata “ istahalla bihi “ yaitu apa yang sudah dikumadangkan dan diumumkan oleh manusia.
- Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyebutkan :
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Meninggalkan ibadah sesuai dengan apa yang di pahami dan diyakini adalah mudharat, akan tetapi perpecahan antara kaum msulimin juga mudharat,bahkan lebih besar. Oleh karenanya kita meninggalkan ibadat yang kita yakini walaupun itu mudharat , akan tetapi bisa menghindari madharat yang lebih besar , yaitu perpecahan.
- Dalam hal ini langkah Pemerintahpun telah sesuai dengan salah satu pendapat para ulama, yaitu bahwa setiap wilayah mengamalkan mathla’nya masing-masing. Sehingga kaum muslimin harus mentaatinya. Kejadian serupa pernah dialami oleh masyarakat Mesir pada bulan Ramadlan 1990, yang terpecah karena sebagian masyarakatnya tidak mengikuti keputusan yang dikeluarkan oleh Dar Ifta’ yang di jadikan sandaran oleh Pemerintahan Mesir. Melihat gelagat yang tidak sehat seperti itu, Syekh Jad Al-Haq, walaupun tidak sependapat dengan Dar Ifta’, akan tetapi beliau menghimbau seluruh masyarakat Mesir untuk mentaati apa yang telah di tetapkan oleh Dar Ifta’ guna menghindari perpecahan. Sehingga sampai sekarang masyarakat Mesir seragam di dalam memulai ibadat puasa dan dalam melaksanakan sholat Idhul Fitri dan Idhul Adha. Walaupun sebagain dari masyarakatnya, barangkali melaksanakan keyakinanannya secara sembunyi- sembunyi untuk menghindari fitnah dan perpecahan. Dan ini bisa terlaksana, karena di dukung dengan kekuatan Negara.
* * *
* Makalah ini dipresentasikan di Majlis Tarjih PCIM ( Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah ) Kairo, pada tanggal 26 September 2003 di Sekretariat PCIM Kairo., dan dipresentasikan pada Musyawarah Nasional ( MUNAS ) Tarjih Muhammadiyah di Padang, tanggal 1-5 Oktober 2003.
Q.S. Al Baqarah (2 ) , ayat : 189
QS Al Baqarah (2 ) , ayat : 185
QS. Al Baqarah (2 ) , ayat : 226
QS. Al Baqarah (2 ) , ayat : 234
QS. Al Mujadilah, ayat : 4
Ada yang menafsirkan bahwa kata “ umi “ dinisbahkan kepada al Umm , yang berarti ibu. Artinya bahwa seorang ummi dimisalkan sebagai seorang bayi yan baru lahir dari perut ibunya dan belum belajar menulis dan menghitung ( lihat Abu al-Ishaq al Syatibi, al Muwafaqot , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t. jilid : 1 , juz ; 2, hlm : 53 ) lihat juga Imam Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Kairo : Dar al Hadits , 1994, Cet I , jilid 4, hlm : 207 )
Syekh Abdullah Darroz di dalam mengomentari pernyataan Syatibi, menyebutkan dua hikmah dari syareah yang bersifat ummiyah ini : pertama , bahwasanya para sahabat yang belajar langsung dari Rosulullah saw adalah orang-orang yang ummiyun dalam arti mereka dalam keadaan fitrah. Kedua, karena kalau syare’at Islam ini tidak bersifat ummiyah, maka tidak akan bisa menyentuh kalangan bangsa Arab dan bangsa lain yang mayoritas akan mendapatkan kesulitan untuk memahami perintah- perintah dan larangan-larangan di dalamnya yang membutuhkan sarana ilmiyah , dan hal itu akan mengakibatkan mereka kesulitan di dalam melaksanakannya. Ini di dalam masalah kewajiban dan tugas. Adapun yang berkaitan dengan pengungkapan rahasia alam yang menunjukkan kebesaran Allah, maka barang kali inilah peran orang – orang yang berilmu. Dan perlu di catat juga bahwa tidak semua kewajiban- kewajiban syare’at bisa di ketahui oleh orang banyak, karena jika keadaannya demikian, berarti tidak ada perbedaan antara ulama dan masyarakat awam. ( Ibid )
HR Bukhari Muslim
Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, jilid 25, hlm : 170-173.
Ibid , jilid 25, hlm : 173-174
Hadist- hadits tentang rukyat aka di sebutkan diantaranya pada pembahasan tentang penjelasan dalil tentang penggunaan ilmu hisab.
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama, Jokyakarta : Penerbit Suara Muhammadiyah, 1997, jilid 4 , hlm : 182-183
menurut Basit Wahid sebagaimana yan dikutip oleh T. Jamaluddin model “ wujudul hilal” inilah yang telah digunakan Muhammadiyah sejak 1969. (lihat Tim Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Cara Muhammadiyah Menetapkan Awal Ramadlan dan Syawal 1423 H , yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah edisi 24, Desember 2002. )
Ibid.
Lihat buku “ Bayan li annas min al Azhar Syarif “ jilid, 200, yang menukil dari koran “ Liwa’ Islamy “ tertanggal 12/ 6/ 1986.
Ibid .
TIM PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Op. Cit., , jilid ; 3, hlm : 153-154. Sebagai pembanding bisa dilihat Ibnu Taimiyah. Op.Cit, jilid 25, hlm : 183-190
Ibnu Taimiyah ,op cit, jilid hlm:207
Prof. Drs. H. Asmuni, Manhaj Tarijih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, Jokyakarta, : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I , vi
Ibnu Taimiyah , Op. Cit, jilid 25, hlm : 134, 142 .
Hadist Riwayat Muslim ( Syrah Shohih Muslim , jilid 4, hlm 202 , hadist no : 1080 )
Ibid
Prof Drs Asjmuni Abdurohman , Opcit , hlm : 99
Ibid. Ini juga berlaku ketika hadits tetang rukyah di kaitkan dengan hadist bahwa umat Islam adalah uma yang Ummiyah . Begitu pula jika dikaitkan dengan prinsip Taysir.
Sebagaimana yag disebut oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayah al Mujtahid, dan dinukil oleh Prof. Drs. Abdurrohman , di Manhaj Tarjih hlm : 224, lihat juga An Nawawi (ibid ) .
Imam Al Nawawi , al -Majmu’ Syarh al Muhadzzab, Beirut : Dar al Fikri, 1996, Cet: I, jilid : 6, hlm : 282
Ibid, jilid : 6, hlm : 283
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih , Op. Cit Jilid : 3 , hlm 151. Tetapi setelah ditemukan referensi lainnya dalam masalah ini, kami memaklumi sikap yang diambil oleh Muhammadiyah.
Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman. Op. Cit. hlm : 224
Suara Muhammadiyah edisi 24 , Desember 2002.
Jalaluddin al Mahalli, Syarh al Waraqat , Kairo : Mushtofa al Halbi, 1955 M, Cet ; II. hlm : 8
Suara Muhammadiyah,edisi 24, Desember 2002
Ibid
Prinsip Taysir sebagaimana yang ada dalam Manhaj Tarjih adalah pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama dengan makna yang luas dan tida sempit,sehingga mudah mengamlkannya tanpa diberat- beratkan . Dan yang dimaksud mudah mengamalkan ajaran agama adalah mengamalkan agama itu sesuaidengan yang diperintahkan dala al Qur’an dan al Sunnah , tidakmenambah-nabah yan akan diberikan serta tidaktakaluf ( lihat Pros Dr. Asjmuni Abd, Op cit, hlm: 42 )
Pernyataan seperti ini pernah di sampaikan pula oleh sekertaris Umum Muhammadiyah, Drs. Haidar Nashir Msc, pada dialog dengan mahasiswa pasca sarjana di PCIM, Kairo Mesir pada tanggal 16 September 2003 yang lalu.
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Op. Cit., jilid : 3, hlm : 151
Bayan linnas, op. cit, jilid : 2, hlm : 199
syekh Jad al- Hahaq 1/ 527.
. Fatwa tersebut tertulis tanggal 20 Robi’ul Awwal 1320 H, dan terdapat pada buku induk Daral Ifta’ no 13 . ( lihat DR. Muhammad Imaroh , al A’malal Kamilah li al-Imam Syekh Muhammad Abduh, Kairo: Dar al Syuruq , 1993, Cet. I , juz 2, hlm 512-513 )
Dalam fatwa lain di sebutkan : “ Syareat Islam adalah syre’at yang luwes, dan umum serta encakup euruh anusia dan jin pada seluruh jajaran ulama dan masyarakat awam, di perkotaan dan pedesaan. Ole karenanya, Allah memberikan kemudahan kepada mereka untuk mengetahui waktu- wakt ibadah . Untuk itu Allah meletakan waktu mulai dan selesainya, tanda- tanda yang kebanyakan manusia mengtahuinya, seperti terbenamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu maghrib an habisnya waktu Ashar, hilangnya Syafaq merah , sebagai tanda asuknya wakt Isya’, Dan menjadikan rukyta ( meliha ula ) setelah tersembunyi pada akhir bulansebagai tanda dimulai bulan baru dan selsainya bulan yang lalu. Dan Aah tidak membebani kita untukmengetahui bulan qomariyah denga sesuatu yang tidka diktahui kcuali oleh segelintir orang, yang di sebut dengan ilmu astronomi atau ilmu hisab/falak. ..dst ( lihat Syekh Ahmad bin Abd al-Rozaq al Duwaisy , Fatawa al- Ljanah al Daimah li al Buhuts al ilmiyah wa al ifta’ , Uli al Nuha li al Intaj al I’lami , 2003, Cet IV, jilid : 10, hlm : 104-105 )
Ibid , jilid 10 , hlm 106-107 .
HR Muslim ( lihat An Nawawi , Syrah Shohih Muslim , 4, hlm 211 Kitab Shiyam , hadits no : 1087 )
lihat Ibnu Abidin, Roddu al Mukhtar ala al Durr al Mukhtar, Beirut : Dar Ihya al Arobi, 1987, Cet II, jilid : 2, hln : 96. Syekh Bukhoit Mutho’I, 274.
lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujatahid wa nihayah al Maqosid, Dar al Fikr, jilid 1, hlm : 210
Syekh Bukhoit Muthi’I , Irsyad ahl alMillah ila istbat al Ahilah, Al Jamaliyah : Kurdistan Ilmiyah, 1329 H, hlm 274.
Syakir, 17-18
An Nawawi, op.cit. 6/275,
ibid
Ibid 6/ 275
Syekh Bukhoit Muthi’I, op.cit hlm, 278 , sebagai pembanding bisa dilihat Muhammad al Zamzami bin Muhammad bin al Siddiq al Thonji, Kitab Hilal bi dalil mura’atu ikhtilaf matholi’ial Ahillah fial Aqthor, Thonjah: Kiroman, hlm 2
AnNawi, op.cit , Syekh Ahmad Muhammad Syakir , op. cit hlm : 18
Syekh Bukhoit Muti’I hlm 277
Ibnu Abdidin, Hasyiah, 2/96
lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujatahid wa nihayah al Maqosid, Dar al Fikr, jilid 1, hlm : 210
An Nawi, Shohih Muslim : 4/ 212
Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughni, Beirut : Dar al Kitab- al Aroby, 1983, jiid 3, hlm : 7. Ibnu Mardawaih, al Inshof fi Ma’rifati al Rojih mi al Khilaf fi madzhab al Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Muhammad Hamid Fiqhi, 1956, Cet I , jilid 3, hlm : 269. Syekh Bukhit al Muthi’I op.cit hlm : 276
Mughni 3/7
Ahmad Muh. Syakir, Awail al Syhur al Arabiyah hal yajuzu syar’an itsbatuha bi alHisab al Falaki , Kairo : Musthofa al Babi, 1939, hlm : 19
Pendapat seperti itu, juga pernah ditawarkan oleh Drs. H. Ismail Thaib sebagai Ketua Bagian Fatwa Majlis Tarjih dan PPI Pimpinan Pusat Muhamadiyah di Yogyakarta, walupun dengan menggunakan argumen yang berbeda. ( lihat Majalah Suara Muhammadiyah, no 6, 16-31 Maret 2003 M )
Q.S. Al Baqarah (2 ) , ayat : 189
Syekh Ahmad Muhammad Syakir, op. cit, hlm 28.
Syekh Bukhait AlMuthi’I, op.cit hlm281
Zamzami, hlm 2
Bidayah,1/ 209
Alasan ini diugkapkan oleh Drs H Ismail Thaib didalam Suara Muhammadiyah no6
Bukahit 281
Syekh Jadal Haq Ali Jad al Haq , Buhuts wa Fatawa Islamiyah wa Qodhoya Mu’ashirah, Kairo : Al Azahar al Syarif, Cet II, jilid 1, hlm 527.
Zazami 4-5
Syekh Jadal Haq Ali Jad al Haq , Buhuts wa Fatawa Islamiyah wa Qodhoya Mu’ashirah, Kairo : Al Azahar al Syarif, Cet II, jilid 1, hlm 505
Untuk bisa melihat lebih luas masalah ini dengancontoh- contohnya, bisa dilihat di DR.Muhammad Hasan Khittob, Mur’atu al Khilaf wa atsaruha fial fiqh al Islamy , Desertasi pada universitas Al Azhar , bidang Ushul Fiqih, masih berupa manuskrip 1982
Ibnu Taimiyah,25/ 114-115
Ali Ahmad alNadawi, al Qowaid al Fiqhiyah, Damaskus : Dar al Qolam, 1994, Cet III, hlm : 311
Jad al haq 1/ 568.