METODE PENGGUNAAN RU’YAH DAN HISAB DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERSATUAN
Ahmad Zain An Najah, MA
*
MUQODDIMAH
Era globalisasi yang kita rasakan saat ini, menuntut semua pihak untuk bisa mengimbanginya dan memanfaatkannya demi kemaslahatan manusia. Umat Islam sebagai umat penengah ( umatan wasathon ) dan pemberi kesaksian kepada umat manusia di alam ini, tentunya , lebih berkompeten di dalam menghadapi serta memanfaatkan isu globalisasi untuk maslahat bangsa, negara serta umat manusia secara menyeluruh. Apalagi agama Islam diturunkan di bumi ini sebagai rohmatan lil ‘alamin, menjadi rohmat dan penyejuk manusia secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Persyerikatan Muhammadiyah yang merupakan organisasi kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh besar dan luas pada penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam tersebut, telah menempatkan dirinya sebagai organisasi yang beraliran moderat dan cenderung untuk menjadi ajang perekat umat. Maka, sangatlah tepat , jika para pimpinannya, sejak berdirinya syarikat ini hingga hari ini terus dan senantiasa tiada henti- hentinya mensosialisasikan manhaj “wasathon “ ( penengah ) di dalam beragama , bersikap dan mengambil kebijaksanaan. Sehingga, hari demi hari, semakin kuat eksistensi dan keberadaanya di tengah- tengah masyarakat Indonesia, apalagi di saat- saat bangsa ini mengalami berbagai benturan dan ujian, seperti krisis multidemensi yang di alami oleh bangsa Indonesia akhir- akhir ini. Peran persyerikatan Muhammadiyah di dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat, serta memberikan solusi- solusi yang riil, untuk bisa keluar dari kungkungan krisis ini sungguh sangat dirasakan oleh banyak kalangan.
Peran dan sepak terjang Muhammadiyah yang di rasa telah banyak memberikan dampak positif pada bangsa tersebut, tidak boleh berhenti sampai di situ saja, akan tetapi harus di lanjutkan oleh generasi- generasi penerus Persyarikatan ini. Apalagi masa dan waktu yang akan terus bergulir , dan keadaanpun akan terus berkembang dan berubah, sehingga problematika umat yang menjadi tugas Persyerikatan untuk mencarikan solusinyapun akan terus bertambah dan bervariasi.
Salah satu problematika krusial yang harus segera dipecahkan dan menyedot perhatian masyarakat Islam Indonesia secara keseluruhan dan belum ditemukan solusinya yang tepat dan bisa diterima masyarakat adalah perbedaan di dalam menentukan awal bulan Romadlon dan Syawal, yang berdampak pada adanya perbedaan di dalam penentuan hari Raya Idul Fitri juga penentuan hari Raya Idul Adha. Permasalahan ini, idealnya telah bisa diselesaikan sejak dahulu. Sebagaimana negara- negara Islam lainnya, seperti Mesir, Saudi Arabia dan lainnya, yang telah lama bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Kelambanan umat Islam Indonesia di dalam menyelesaikan masalah di atas , disebabkan oleh beberapa faktor , diantaranya adalah faktor lingkungan umat Islam di Indonesia yang tidak kondusif, seperti kuatnya kefanatikan terhadap golongan, yang masih bersemayam disebagian umat Islam Indonesia. Sehingga, sikap lapang dada dan toleran terhadap perbedaan, masih sangat sulit untuk diwujudkan. Faktor tersebut di dukung lemahnya penguasaan ilmu agama pada masyarakat Islam di Indonesia pada umumnya. Inilah yang kadang – kadang menyebabkan seseorang , lembaga atau masyarakat salah di dalam memahami ajaran Islam yang bersifat universal. Oleh karenanya, untuk memahaminya juga harus secara universal, atau dengan kata lain bahwa untuk memahami sesuatu hukum di dalam ajaran Islam ini harus dilihat dari seluruh aspek yang ada serta merajut semua dalil yang ada menjadi satu keasatuan yang tak dapat dipisahkan. Karena, pengamatan dari satu aspek saja, kadang akan berbenturan dengan aspek yang lain yang barang kali lebih penting. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa jika hasil dari sebuah penelitian yang ternyata kurang sesuai dengan ruh ajaran Islam dan tidak mampu memberikan solusi yang sempurna dan akurat, bisa dipastkan , hal itu dikarenakan cara pengamatan dan penelitiannya kurang menyeluruh dan belum tuntas.
Metode penentukan awal bulan Romadlan dan awal bulan Syawal serta penentuan waktu sholat I’dul fitri dan I’dul Adha yang masih meninggalkan problematika yang berkepanjangan adalah salah satu kasus yang belum mendapatkan solusi secara komprehensif dan menyeluruh, sehingga menghasilkan sesuatu yang masih menggantung dan tidak tuntas.
Oleh karenanya, tulisan yang sangat singkat dan sederhana ini berusaha memberikan terobosan baru yang berani dan mungkin mengagetkan banyak kalangan, karena akan menuntut mereka untuk melepaskan persepsi-persepsi yang selama ini diyakininya. Oleh karenanya, akan banyak mendapat tantangan – tantangan. Namun, bagaimanapun beratnya tantangan dan kesulitan yang akan di hadapinya, sebuah solusi yang menjanjikan harus tetap di suarakan dan diperjuangkan . Tulisan ini memang singkat dan barangkali masih banyak kekurangannya, dikarenakan waktu yang tersedia relatif sangat sedikit , yaitu beberapa hari saja, dan ini berpengaruh sekali di dalam pengumpulkan revensi-reverensi yang berkaitan dengan tema di atas, baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia, khususnya yang ada kaitannya dengan studi lapangan. Barangkali lebih tepat, kalau tulisan ini hanya berupa pengantar, dan tentunya belum tuntas. Makanya, diharapkan semua pihak untuk bisa memberikan perbaikan dan masukan-masukan , serta kritik-kritik yang membangun guna sempurnanya tulisan ini.
HILAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENENTUAN HUKUM
Allah swt telah menurunkan agama Islam ini dengan sempurna dan telah meletakkan aturan-aturan di dalamnya dengan batas- batas yang jelas, serta mudah dimengerti oleh manusia. Di dalam bidang fikih umpamanya, Allah telah memberikan batasan yang jelas di dalam menentukan waktu ibadah, bahkan yang berhubungan dengan mu’amalah sekalipun. Batasan tersebut dipilih dari sesuatu yang bisa diketahui oleh kebanyakan manusia dengan cara yang relatif mudah dan tidak membutuhkan tenaga yang besar serta waktu yang panjang. Karena , ajaran agama Islam di dasarkan kepada kemudahan , bukan kepada kesulitan. Maka, Allah menyebutkan di dalam salah satu firmannya :
( يسألونك عن الأهلة ، قل هي مواقيت للناس والحج )
“ Mereka bertanya kepadamu tentang hilal ( bulan sabit ) , katakanlah bahwa hilal ( bulan sabit ) tersebut merupakan tanda- tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadat haji “
Ayat di atas menunjukkan bahwa hilal ( bulan sabit) merupakan standar penentukan waktu di dalam ibadah, salah satunya ibadah haji, sebagaimana yang disebut akhir ayat. Akan tetapi ayat tersebut tidak membatasi ibadah haji saja, di sana ada ibadah- ibadah lain yang ditentukan waktunya dengan hilal ( bulan sabit ). Di antaranya yang di sebutkan dalam Al Qur’an ada lima :
1. Puasa, dengan dalil firman Allah :
( فمن شهد منكم الشهر فليصم )
“ Barang siapa diantara kamu yang menyaksikan bulan itu, hendaknya ia berpuasa “
Haji, dalilnya sebagaimana yang tersebut di atas.
- Masa “ Ilaa’ “ , dalilnya firman Allah :
( للذين يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر )
“ Kepada orang- orang yang meng-illa’ istrinya, diberi tangguh empat bulan lamanya “
- Masa “ ‘ Iddah “ , dalilnya firman Allah :
(والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا )
“ Orang- orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaknya ( para istri tersebut ) menangguhkan dirinya ( ber’iddah ) selama empat bulan sepuluh hari “
- Puasa Kaffarah , dalilnya firman Allah swt :
(فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين من قبل أن يتماسا )
‘ Barang siapa yang tidakmendapatkannya, maka hendaknya dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut , sebelum mereka saling berkumpul “
Adapun di dalam al Sunnah tentunya lebih dari itu.
Yang jelas , dari keterangan di atas bahwa agama Islam mengaitkan waktu – waktu ibadah dengan hilal ( bulan sabit ) atau lebih kita kenal dengan perhitungan kalender Hijriyah , bukan dengan matahari atau perhitungan kalender Masehi.
UMAT UMMIYUN DAN ILMU HISAB
Dalam meninjau masalah ini, alangkah baiknya kami ketengahkan beberapa dalil penguat terhadap keterangan di atas yang diambil dari ayat atau hadits lainnya. Salah satu dalil yang bisa diungkapkan di sini adalah bahwa umat Islam ini adalah umat yang “ Ummiyun “ ( Umat yang tidak membaca dan menulis ) , maka Syare’at yang diturunkannya-pun bersifat “Ummiyah “ Artinya bahwa di dalam memahami perintah- perintah dan larangan-larangan di dalam syare’at tersebut tidak memerlukan pendalaman terhadap ilmu-ilmu pengetahuan alam yang “ njlimet “ , seperti ilmu astronomi dam ilmu matematika yang tinggi dan sejenisnya. Kesimpulan ini diambil dari firman Allah swt di dalam Surat Al Jumu’ah, ayat : 4
( هو الذي بعث في الأميين رسولا منهم ) الجمعة : 4
Begitu juga yang terdapat dalam Qs Al A’raf : 157
Dalam hadits juga di sebutkan :
إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan keunikan umat Islam, yaitu umat yang tidak pandai menulis dan membaca. Akan tetapi, artinya bukan berarti umat Islam tidak boleh belajar menulis atau membaca, karena keduanya telah diperintahkan Allah swt kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu syare’ah dan ilmu pengetahuan, yang mana hal tersebut membutuhkan kecakapan dalam menulis dan membaca. Yang perlu diingat, bahwa dalam keadaan tertentu kepandaian menulis dan membaca merupakan sifat “ lemah “ dalam diri seseorang, sebagaimana yang terjadi pada diri Rosulullah saw, karena selain akan membuka peluang bagi orang- orang kafir untuk menuduhnya telah mengarang Al Qur’an yang merupakan wahyu Allah, beliaupun sudah diberikan Allah sesuatu yang lebih berharga dan jauh lebih baik dari sekedar membaca dan menulis, yaitu wahyu Allah swt yang berisi ilmu pengetahuan, hikmah dan aturan- atauran yang belum bisa tertandingi hingga saat ini. Oleh karena itu, ketidak adanya kepandaian atau kecakapan di dalam menggunakan sarana menulis dan menghitung tidak selamanya bernilai negatif. Inilah yang dimaksud di dalam hadits di atas, bahwa untuk masalah penentuan bulan umat Islam tidak membutuhkan tulisan dan perhitungan. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan akurat daripada melakukan penghitungan dan penulisan yang belum tentu tepat, sebagaimana juga telah dilakukan umat lain. Keterangan ini disimpulkan dari alur hadist yang ada, yaitu antara penyebutan hadist di awalnya yang menerangkan bahwa :
إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب
“ Kami adalah umat yang umiyyun ( tidak membaca dan menulis ) “
dengan bunyi hadits terakhir yang menyebutkan bahwa
الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“ jumlah hari dalam satu bulan itu ada dua kemungkinan, yaitu 30 hari atu 29 hari “.
Menurut hemat kami, inilah penafsiran hadits yang holistis dan menyeluruh. Yaitu dengan menggabungkan bunyi hadits secara keseluruhan dan mengaitkannya antara satu dengan yang lain, karena kalau kita hanya mengambil penggalan saja, berarti kita tanpa sengaja menyisakan bunyi hadits yang lainnya tanpa tersentuh keterangan, dan akibatnya akan mengesankan bahwa penggalan yang tersisa tersebut tidak ada faedahnya, dan hal ini tidak mungkin terjadi pada sabda Rosulullah saw. Keterangan tersebut juga akan bertambah kuat jika digabung dengan hadits- hadits lainnya yang berbicara tentang “ ru’yah “.
Selain Allah telah memberikan cara yang paling efektif dan jauh lebih tepat sasaran, sebaliknya kita dapatkan ilmu hisab dan perhitungan ternyata banyak pertentangan antara satu dengan yang lainnya serta tidak mempunyai kreteria yang jelas. Sebagai contoh , terdapat perbedaan sistem , data dan prosedur perhitungan ijtima’ dan irtifa’ di dalam kitab “ Samun Nayyirain “ dengan data yang terdapat dalam daftar-daftar ephemeris yang lain. Karena di dalam kitab tersebut untuk menentukan ijtima’ dan irtifa’ di dasarkan pada sistem geosentrik dan tanpa memperhatikan lintang tempuh, deklinasi matahari dan koreksi- koreksi lain seperti refraksi.
Dan sesungguhnya para ulama dan ahli falak sendiri mengakui bahwa diantara mereka sendiri terjadi perbedaan pendapat di dalam memberikan kreteria untuk menetapkan awal bulan qomariyah, khususnya awal bulan Romadlan dan awal bulan Syawwal. Sebagian dari mereka ada yang menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal ( bulan ) sudah wujud di atas ufuk. Dan ini, sering disebut dengan model “ wujudul hilal “ Artinya asalkan bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah di anggap bulan baru ( moon set sesudah sun set ) . Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan imkanu al rukyat. ( yaitu berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal di rukyat ). Kelompok yang menggunakan model “ imkanu al rukat “ inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya, ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat .
Adanya perbedaan antara ahli hisab tersebut didukung oleh DR. Jamaludin al Fandi, ahli ilmu falak Mesir yang pernah mengatakan di depan Lajnah Penyatuan Bulan- Bulan Hijriyah di Lembaga Riset al Azhar : “ Problematika wujud bulan setelah terbenamnya matahari , apakah mungkin bisa dilihat atau belum, sampai sekarang belum bisa dipecahkan oleh ahli ilmu hisab dan falak “ . Pernyataan senada juga dilontarkan oleh DR. Rosyad Qobi’I , Direktur Lembaga Pengawasan Ilmu al Falak , beliau menyebutkan masih adanya beberapa kesalahan didalam penggunaan ilmu hisab.
Barangkali di sana ada faktor faktor yang menyebabkan kemungkinan itu terjadi, seperti perbedaan tempat pengamatan, atau tempat perhitungan ( perbedaan lintang dan bujur tempat ) dan juga perbedaan deklinasi matahari dan bulan.
Selain terdapat perbedaan- perbedaan yang sangat banyak di dalam ilmu hisab yang mungkin akan membuat semakin sulit untuk menyatukan pendapat , perhitungan ahli hisab-pun belum dijamin kebenarannya dan masih banyak dimungkinkan terjadi kesalahan.
Dari sisi lain , kita dapatkan bahwa sarana semacam ini, yang disunakan untuk menentukan awal bulan Romadlon dan awal bulan Syawwal telah banyak menguras tenaga tanpa menghasilkan manfaat yang maksimal, selain akan memalingkan dari tugas dan pekerjaan yang lebih penting. Padahal ilmu untuk mengetahui awal bulan tersebut bukanlah tugas utama, itu hanyalah sarana untuk menuju tugas yang sesungguhnya yaitu melaksanakan puasa ataupun melaksankan sholat I’ed.
Disamping itu, ru’yah merupakan spesifik umat Islam, maka wajib dijaganya. Karena, kalau ditinggalkan dan digantikan dengan hisab, maka kesempurnaan agama ini akan menjadi berkurang. Ini jika penggunaan ilmu hisab tersebut tidak membawa kerusakan atau mafsadah, bagaimana, jika penggunaan hisab tersebut mendatangkan mafsadah ?
Inilah kira- kira keterangan singkat dari pengertian bahwa Umat Islam ini adalah umat yang “ Umiyun “ ( tidak menggunakan tulisan dan hitungan ) di dalam penentuan awal bulan.
PENJELASAN TENTANG DALIL PEMAKAIAN HISAB
Di dalam bab ini , perlu dijelaskan beberapa ayat Al Qur’an dan hadits- hadits al-Nabawiyah yang sering dijadikan sandaran oleh Muhammadiyah untuk menggunakan ilmu hisab di dalam menentukan awal bulan. Menurut hemat kami, sebagaimana juga yang telah di sebutkan oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, sangatlah perlu untuk mengkaji ulang produk- produk masa lampau Majlis Tarjih , dalam rangka evaluasi maupun memperjelas, bahkan kalau perlu diadakan koreksi kembali. Dan itulah sebenarnya prinsip Tajdid (pembaharuan ) Muhammadiyah. .
Maka , di bawah ini beberapa koreksi terhadap sebagian dalil yang digunakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah di dalam menentukan awal bulan Romadlan dan Syawwal dengan menggunakan hisab.
Firman Allah swt : ( QS.Yunus : 5 )
هو الذى جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب
Sebagian ulama menafsirkan ayat di atas dengan menjadikan kalimat “ li ta’lamu “ muta’aliq dengan kalimat “ wa qoddaru “ , sehingga arti ayat tersebut , bahwa Allah telah menetapkan manazil ( tempat- tempat bagi perjalanan bulan ) supaya kita mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu ). Makanya, satu bulan bisa diketahui dengan adanya hilal. Dn dari hitungan bulan tersebut, akan diketahui waktu satu tahun. Dengan demikian , hanya dengan hilal, bilangan bulan dan tahun bisa diketahui.
Tapi ada sebagian ulama yang menjadikan kalimat “ li ta’lamu “ muta’liqun dengan kata “ ja’ala “. Sehingga bisa di artikan bahwa dengan matahari , diketahui waktu “ satu hari” dan dengan bilangan hari tersebut akan terwujud satu pekan ( minggu ) . Akan tetapi manakala, ingin mengetahui waktu “ satu bulan “ , kita harus menggunakan hilal, dan dengan bilangan bulan tersebut , bisa terwujud satu tahun.
- Hadits “ faqdiru lahu “
Satu- satunya hadits yang bisa dijadikan sandaran di dalam penggunaan rukyat adalah hadist :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ،ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له و في رواية ( فاقدروا له ثلاثين ) و في رواية ( فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما )وفي رواية ( فإن غم عليكم فأكملوا العدد ) وفي رواية (فإن غم عليكم الشهر فعدوا ثلاثين ) وفي رواية (فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين )
Jumhur ulama salaf dan kholaf menafsirkan “ faqduru lahu “ dengan menggabungkan hadits – hadits di atas. Sehingga artinya adalah “ hendaknya kamu melengkapi hitungan bulan 30 hari. Pendapat jumhur ulama tersebut sebenarnya sesuai dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah di dalam memahami dalil al Qur’an dan Al Sunnah. Disebutkan dalam pokok- pokok manhaj yang tersebut dalam point 10: “ Penggunaan dalil- dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan konprehensif, utuh, bulat dan tidak terpisah-pisah. “ Yaitu harus dihindari pengambilan dalil yan sepotong potong , atau satu –dua dalil yang –langsung – , padahal ada dalil yang tidak langsung yang lebih relevan dengan permasalahan yang dicari hukumnya, yang dalil tersebut dapat dijadikan rujukan.
Sebagian ulama menafsirkan “ faqduru lahu “ dengan ilmu hisab. Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirrin , dia berkata : “ Pada suatu hari yang belum jelas awal bulannya, saya tidak pernah berkunjung ke tempat orang yang berilmu, kecuali saya dapatkannya sudah makan, kecuali seorang ahli hisab dan dia menggunakan ilmuanya, seandainya dia tidak mengertahui hisab, barangkali lebih baik baginya. “ Ada yang mengatakan bahwa orang itu adalah Mathroif bin Abdullah bin Syuhair.
Menurut kami, riwayat ini perlu di teliti dahulu kebenarannya. Dan seandainya hal itu benar, belum tentu bisa dijadikan justifikasi untuk membenarkan penggunaan hisab, karena termasuk pendapat yang syadz ( yang menyelesihi kebanyakan ulama ) atau bisa dimasukkan di dalam katogeri zillatu al- ‘Ulama ( terpelesetnya seorang ulama dalam kesalahan ) . Dalam keadaan seperti ini seorang ulama tidak boleh diikuti pendapatnya.
Kalau kita perhatikan perkataan Ibnu Sirri di atas, menunjukkan bahwa beliau menyayangkan perbuatan Muthorif.
Penggunaan Hisab ini, konon juga dilakukan oleh Abul Abbas Ibnu Suraij. Bahkan sebagian ulama Malikiyah menceritakannya pendapat tersebut di ambil oleh Syafi’i.
Akan tetapi yang terdapat di dalam kitab “ Majmu’ “ bahwa Ibnu Suraij berpendapat jika hilal (bulan ) tertutup dengan awan atau mendung , maka dalam keadaan seperti ini seorang ahli hisab , ketika mengetahui Hilal bulan Romadlan, dia diharuskan puasa untuk dirinya sendiri. Sedangkan Ulama-ulama yang lainnya tidak menyuruhnya puasa , dengan alasan bahwa kita ( umat Islam ) tidak diperintahkan untuk mengetahui Hilal dengan menggunakan hisab.
Yang perlu kita perhatikan dari kasus di atas , adalah : Pertama : bahwa pendapat Ibnu Suraij tersebut ditujukan pada Hilal Ramadlan, bukan Hilal Syawwal. Karena Hilal Ramadlan permasalahan lebih ringan dari pada Hilal Syawwal, karena para ulama membolehkan berpuasa dengan persaksian satu orang yang adil saja,- walaupun di dalamnya masih ada perbedaan pendapat-, akan tetapi untuk hilal Syawwal, jumhur ulama mensyaratkan persaksian dua orang adil .
Yang kedua : Pendapat Ibnu Suraij tersebut , dipakai jika keadaan mendung dan bulan tertutup.
Ketiga : Ibnu Suraij mengharuskan bagi ahli ilmu hisab secara khusus, bukan kepada yan lainnya.
Kalau seandainya Majlis Tarjih Muhammadiyah benar- benar mengikuti pendapat Ibnu Suraij, yang nota benenya menyelesihi mayoritas Ulama , maka mestinya sebatas apa yang difatwakan dengan memperhatikan tiga hal di atas. Akan tetapi kenyataannya Majlis Tarjih menggunakannya di dalam menentukan Hilal Syawwal, dan dalam keadaan tidak mendung dan mengharuskan selain ahli hisab untuk mengikutinya, bahkan menolak seseorang yang menyatakan melihat bulan ( rukyat ) , jika bulan menurut perhitungan hisab belum wujud ( belum positif di atas ufuk ) dan menganggap rukyah tersebut, sebagai rukyat yang tidak mu’tabarah.
Untuk menjustifikasi penggunaan hisab didalam penentuan awwal Ramadlan dan Syawwal, Majlis Tarjih juga menyebutkan bahwa arti rukyah , bukan hanya dengan mata kepala , tapi juga dengan pikiran atau akal. Atau menurut ungkapan yang digunakan majalah Suara Muhammadiyah adalah dengan pikiran atau ilmu . Mereka merujuk kepada kamus Lisanul Arab, karya Ibnu Mandzur.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa di dalam memahami lafad-lafadh syar’I , baik yang ada di dalam Al-Qur’an , maupun al – Hadits, harus dibedakan antara tiga hal, pertama : hakikat lughawiyah, yaitu hakikat bahasa yang diletakkan oleh ahli bahasa, seperti singa adalah binatang buas , kedua : hakikat syar’iyah , yaitu hakikat bahasa yang diletakkan oleh ahli syra’I , seperti sholat adalah suatu ibadah denagan rukun dan syarat-syarat tertentu, yang di mulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. ketiga ; hakikat ‘urfiyah adalah hakikat bahasa di pahami oleh masyarakat secara umum, seperti : “al dabbah “ adalah semua binatang yang mempunyai kaki empat seperti keledai. Kalau ketiga hakikat tersebut tidak dibedakan, maka akan terjadi kerancuan di dalam memahami teks- teks Al Qur’an dan hadist. Seperti sholat , kalau dilihat secara hakikat lughowiyah, maka artinya adalah do’a. Dan kalau hakikat lughowiyah ini kita terapkan dalam hakikat syar’iyah, maka akan rancau , karena kita akan memahami sholat sebagai do’a saja. Begitu juga kata “ Rukyah “ di dalam penentuan awal bulan Romadlan dan Syawwal, yang hakikat syar’iyah-nya adalah melihat dengan mata kepala, kemudian di artikan dengan menggunakan hakikat lughawiyah , yang di ambil dari kamus Lisan al Arab, bahwa rukyah juga berarti melihat dengan ilmu, maka pemahaman-nya akan jadi rancu juga.
Barangkali hal yang paling mendasar , yang mendorong PP Muhammadiyah untuk tetap menggunakan hisab di dalam menentukan awwal bulan Ramadlan dan awwal Syawwal, walaupun dalil yang digunakan sangat lemah, paling tidak menurut anggapan kami, adalah keinginan Muhammadiyah untuk selalu mempertautkan antara demensi ideal-wahyu dan peradaban manusia. Oleh karenanya, Muhammadiyah menganggap Hisab dan Rukyat sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini seperti yang tertuang di dalam teks Himpunan Putusan Tarjih yang menyebutkan :
الصوم و الفطر بالرؤية ولا مانع بالحساب
‘ Berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab
Namun demikian , dalam realitas emperik, Muhammadiyah “ tidak pernah “ memakai rukyat dengan mata telanjang dalam menentukan awwal bulan Ramadlan dan Syawwal. Karena Muhammadiyah berpendapat rukyat dengan mata telanjang itu sulit dan Muhammadiyah berpandangan agama itu tidak sempit, sehingga menggunakan alternatif hisab.
Kami memandang, pernyataan di atas terdapat kerancuan, karena Muhammadiyah pada pertama kalinya mengakui adanya rukyah dan kedudukannya sejajar dengan hisab, sebagai bentuk penyeimbangan antara demensi wahyu dengan peradaban manusia, akan tetapi di dalam prakteknya Muhammadiyah tidak pernah menggunakan rukyat , karena hal itu sulit dilakukan. Hal itu, mengesankan bahwa dimensi wahyu sulit untuk dilakukan , maka cukup memakai demensi peradaban manusia. Padahal kalau direnungi lebih mendalam bahwa rukyat itu jauh lebih mudah dan efesian serta bisa dilakukan oleh banyak orang serta lebih dekat denga ruh ajaran Islam yang berlandasakan “ kemudahan “. Bahkan juga lebih dekat dengan nafas Muhammadiyah sendiri, karena Muhammadiyah selalu menekankan untuk selalu melakukan ibadah yang efesien, sederhana, praktis dan sesuai dengam sunnah. Kalau di dalam Manhaj Tarjih disebut dengan prinsip” Taysir “ Sebagaimana ketika melakukan dzikir singkat sesudah sholat, karena segera menuju amal duniawi , dan yang demikian tersebut sesuai dengan sunnah
Muhammadiyah tidak hanya memilih alternatif penggunaan hisab saja, dan meninggalkan rukyat, karena di pandang sulit, tapi sudah melangkah lebih dari itu, yaitu menolak seseorang yang menyatakan melihat bulan ( rukyat ) , jika tidak sesuai dengan prinip dala ilmu hisab , dan rukyat tersebut dianggap sebagai rukyat yang tidak muktabar. Sebagaimana pernah di terangkan di atas.
Mengenai perpaduan antara demensi wahyu- dan peradaban manusia, memang prinsip yang sangat bagus. Namun prinsip tersebt berlaku pada hal- hal yang belum di atur oleh Syare’at Islam secara rinci. Seperti di dalam pengembangan ilmu pengetahuan alam dan sosial dan sejenisnya. Adapun pada hal- hal yang sudah di atur oleh Islam secara jelas dan rinci, maka tugas umat Islam adalah mengikut aturan tersebut. Sebagai salah satu contoh, untuk membuktikan orang berzina, Islam telah menentukan cara- caranya, yaitu dengan kesaksian empat orang yang adil dan dipercaya, atau dengan pengakuan sendiri dari orang yang melakukan zina . Nah, apabila syarat yang ditentukan Syare’at tersebut belum terpenuhi, seperti yang meberikan kesaksian hanya tiga orang, maka di perbuatan zina tersebut belum bisa dibuktikan secara syar’I, dan tidak berhak dijatuhi hukuman cambuk 100 kali atau rajam, walaupun ketiga oang tersebut jujur dan tidak bohong. Dalam kasus tersebut, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bisa dijadikan alternatif untuk menggantikan cara yang telah di tetapkan oleh Al Qur’an tersebut, umpamanya dengan bukti photo.
BEBERAPA KESIMPULAN :
Kesimpulan ini, kami ambil, walaupun keterangan di atas belum tuntas ,sebagai jalan pintas, karena waktu tidak mengijinkan . Di dalam kesimpulan ini , kami sertakan beberapa pandangan baru, yang sebenarnya lebih tepat kalau di sisipkan pada pembahasan di atas.
1/Rukyat Bashoriyah adalah rukyat syar’iyah yang di jadikan standar untuk menentukan awwal bulan Ramadlan dan Syawwal.
2/Rukyat tersebut harus memenuhi syarat- syarat sbb :
· Digunakan saat keadaan udara cerah dan tidak ada penghalang apapun ( faktor- faktor lain yang menyebabkan tidak dimungkinakan bulan terlihat )
· Harus diperhitungkan juga tempat yang d gunakan untuk melihat dan mengamatinya . Begitu juga diperhitungkan ketinggian tempat tersebut.
· Orang yang melihat harus orang yang adil , sesuai dengan apa yang telah di tetapkan syare’at
· Matanya harus dalam keadaan sehat
· Dia harus orang yang sudah terlatih di dalam masalah ini, paling tidak dia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
· Tidak dipengaruhi faktor- faktor kejiwaan yang mengganggu proses pengamatan.
3/Jika rukyat tidak mungkin bisa digunakan, barangkali ilmu hisab bisa di jadikan alternatif penunjang atau dalam keadaan tertentu bisa dijadikan standar. Sebagaimana yang diputuskan di dalam Konferernsi Ulama Lembaga Riset Al Azhar tanggal 27/ 10/ 1966
4/Dengan cara ini, Insya Allah tidak terjadi benturan dengan teks- teks hadits yang ada, dan merupakan penggabungan antara demensi wahyu dengan peradaban manusia , sekaligus penggabungan antara pendapat ulama , serta bisa mengecilkan volume perselisihan.
BEBERAPA FATWA ULAMA TENTANG PENGGUNAAN HISAB
Untuk memperkuat masalah di atas, kami sertakan beberapa fatwa ulama berkenaan dengan hukum penggunaan ilmu hisab didalam penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan Syawwal. Ini, bukan berarti fatwa tersebut harus diambil oleh Muhammadiyah, akan tetapi paling tidak untuk dijadikan bahan perbandingan ilmiyah dan untuk mengetahui sejauh mana posisi Muhammadiyah di dalam percaturan pengembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di Dunia Islam.
FATWA SYEKH MUHAMMAD ABDUH
Tentang pembatasan awal bulan-bulan Arab .
Pertanyaan tertanggal 17 Juni 1902 M, no 6808 yang ringkasan isinya sebagai berikut : menginginkan kalender yang tepat , agar bisa merujuk kepadanya untuk kepentingan penentuan program kerja , baik yang bersifat agama maupun negara . Serta menanyakan apakah yang seharusnya dipakai di dalam menentukan awal bulan Arab ( Hijriyah ) menurut ajaran Islam apakah dengan Rukyat , sebagaimana yang dipakai pada bulan Ramadlan, ataukah dengan memakaki ilmu hisab ? Kemudian bagaimana jika hasil rukyat sesuai dengan hasil hitungan hisab, dan bagaimana jika hasilnya berbeda. Dengan harapan bisa ditunjukkan literatur-literatur Arab yang membicarakan masalah ini dengan tuntas .
Jawaban :
Yang telah di tetapkan secara syar’I , bahwa penentuan awal bulan hanyalah melalui cara rukyat hilal (melihat bulan secara langsung ) , dan itu harus ada persaksian yang sudah di atur oleh ahli syra’I ( ahli fiqih ) . Itu semuanya berlaku pada seluruh bulan, tidak ada bedanya antara bulan Ramadlan, Syawwal atau selain keduanya.
Adapun penggunaan ilmu hisab, terdapat perbedaan di antara ulama sebagian madzhab. Adapun pendapat yang bisa dijadikan standar adalah tidak boleh mengabil alternatif dengan menggunakan hisab, karena hukum- hukum dalam agama Islam ini di dasarkan pada kemudahan dan dapat dijangkau oleh umat manusia dimanapun mereka tinggal dan berada.
Adapun masalah ini, bisa dilihat pada bab puasa di dalam semua buku- buku fikih. Wallahu a’lam .
FATWA LAJNAH DAIMAH UNTUK RISET ILMIYAH DAN FATWA ARAB SAUDI
Fatwa Lajnah Daimah yang berhubunga dengan penggunakan ilmu hisab di dalam menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal ini, sangat banyak dan beragam , sesuai dengan pertanyaan- pertanyaan yang masuk pada Lajnah Daimah tersebut, tapi intinya sama.
Berikut ini , kami nukilkan fatwa yang kami anggap paling sederhana dan mengena ;
Pertanyaan :
Di sana ada perbedaan pandangan diantara ulama kaum muslimin tentang penentuan mulainya bulan puasa dan hariraya IdulFitri. Sebagian dari mereka mengamalkan hadits ( berpuasa karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ) . Akan tetapi sebagian ulama ada yang menyandarkan pada pendapat ahli falak, serta mengatakan : sesungguhnya ahli falak sudah mencapai puncak pengetahuan tentang falak, sehingga mereka bisa mengetahui bermulanya awal bulan qomariyah , dan mereka juga mengikuti kalender yang ada.
Jawaban :
1. pertama : Pendapat yang benar , yang harus di amalkan adalah apa yang ditunjukan sabda Rosulullah saw ( Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya, jika penglihatan kamu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari ) yaitu yang dijadikan standar untuk memulai bulan Ramadlan dan akhir bulan tersebut adalah dengan rukyat (melihat bulan ), karena sesungguhnya Syare’at Islam yang di bawa oleh nabi kita Muhammad saw bersifat universal , abadi dan bersinambung hingga hari kiamat.
Yang kedua : Sesungguhnya Allah swt Maha Mengetahui apa yang akan terjadi, yaitu kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Namun walaupun begitu, Allah tetap berfirman ( Barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan , maka hendaklah berpuasa ) Kemudian Rosul-Nya menjelaskan dengan sabdanya (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah kaena melihatnya ) al- Hadits. Dalam hadits tersebut Rosulullah saw mengaitkan puasa bulan Ramadlan dan berbuka puasa setelah Ramadlan dengan hilal ( bulan ) , dan tidak mengaitkan dengan pengetahuan datangnya bulan dengan ilmu astronomi, padahal Allah mengetahui bahwa ahli falak akan mencapai kemajuan dan mengetahui perjalanan bintang . Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin kembali kepada apa yang telah disyare’atkan Allah kepada mereka melalui sabda Rosul-Nya yaitu dengan menggunakan rukyat di dalam berpuasa dan berbuka. Hal ini , seakan-akan sebuah kesepakatan para ulama. Adapun yang menyelisihinya dan mencari alternatif lain dengan menggunakan ilmu hisab, maka merupakan pendapat yang sadz ( asing dan menyelisih kebanyakan ulama ) dan tidak bisa dijadikan standar.
Wabillahi al Taufiq wa sholla Allahu ‘ala Nabiyana Muhammad wa alihi wa shohbihi wa salim.
Lajnah Daimah untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa
Ketua Wakil Ketua
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Abdu al Rozaq Afifi
Anggota
Abdulah bin Qu’ud
MENYIKAPI PERBEDAAN MATHLA’
Sebenarnya perbedaan Mathla’ merupakan sesuatu yang dianggap wajar oleh para ulama, karena realitanya memang demikian. Oleh karenanya, kita dapati kaum muslimin berbeda waktu di dalam mengerjakan sholat fardlu, dan ibadah- ibadah lainnya. Hal- hal seperti dianggap wajar dan tidak ada masalah. Namun untuk penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawwal , para ulama memperselisihkan perbedaan “Mathla’ “ tersebut. Apakah setiap negara mempunyai rukyat tersendiri, atau perbedaan tersebut tidak berlaku, sehingga jika ‘ hilal “ tersebut terlihat dari salah satu negara, maka seluruh kaum muslimin harus berpuasa semua, walaupun tinggal di negara lain ?
Sebelumnya, perlu disebutkan dahulu hadits yang berhubungan dengan masalah tersebut :
عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام . قال : فقدمت الشام ، فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر و فسألنى عبد الله بن عباس رضى الله عنهما ، ثم ذكر الهلال ….إلخ
Di dalam memahami hadits tersebut para ulama berbeda pendapat :
1/Yang mengatakan bahwa perbedaan Mathla’ berpengaruh pada penentuan hilal Ramadlan dan Syawwal, sehingga setiap negara mempunyai rukyat tersendiri. Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah, seperti Ibnu Abdul Barr, Ibnu Arafah dan Qorrofi . Dan juga merupakan pendapat yang shohih dari madzhab Syafi’I, jika jarak antar wilayah berjauhan. Karena, menurut Imam Nawawi para ulama Syafi’iyah sepakat bahwa jika jarak antar wilayah berdekatan , maka dua wilayah tersebut hukumnya satu, yaitu penduduknya harus berpuasa semua dengan memakai rukyat wilayah lain. Adapun batasan dekat dan jauh, para ulama Syafi’yah berbeda pendapat di dalamnya :
· Batasan jauh adalah jika mathla’nya ( tempat terbitnya bintang ) berbeda, seperti Hijaz ( Mekkah dan Madinah ), Iraq dan Khurasan ( Iran ) . Sedang batasan dekat adalah jika mathla’nya sama , seperti : Baghdad, Kufah, Royyidan Qozwin. Ini di pilih oleh Imam Nawawi .
· Batasan jauh adalah jika berbeda iqlim (daerah ) . Sedang batasan dekat adalah yang satu iqlim (daerah )
· Batasan jauh adalah jarak tempat ( di qoshornya sholat ) . Sedang batasan dekat adalah jarak yang kurang dari itu. Ini pendapat Faurani, Al Ghozali, Al-Baghowi dan Imam Haramain.
Kelompok pertama ini menggunakan beberapa dalil, diantaranya :
- Hadits Kuraib di atas. Keterangannya : bahwa pernyataan Ibnu Abbas kepada Kuraib – ketika di tanya apakah tidak cukup dengan rukyatnya Mu’awiyah- bahwa hal tersebut tidak cukup, dan itulah yang diperintahkan Rosulullah saw , menunjukkan secara jelas bahwa setiap wilayah berkewajiban menjalankan rukyatnya masing-masing. Apalagi yang wilayah yang di jadikan contoh dalam hadits tersebut adalah wilyah Syam dan Hijaz ( Mekkah dan Medinah ) , yang nota bene-nya telah memenuhi 3 syarat yang diperselihkan oleh ulama Syafi’iyah , yaitu sejauh jarak di qhoshornya sholat , berbeda iqlimnya, dan berbeda pula mathla’nya.
- Dari segi akal , bahwa setiap kaum atau bangsa diperintahkan untuk beramal sesuai dengan tempatnya, karena wujud hilal setelah terpisah dari sinar matahari berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagaimana juga, jika matahari tergelincir di daerah Timur, belum tentu ia tergelicir di daerah Barat. Begitu juga kejadiannya , ketika terbit dan terbenam. Bahkan kadang-kadang di beberapa wilayah seperti di daerah kutub, kadang matahari masih nampak sampai 6 bulan berturut- turut . Dan penduduk daera tersebut tidak mungkin di suruh berpuasa dengan rukyat orang Mesir umpamanya.
2/Yang mengatakan bahwa jika rukyat ternyata terlihat oleh satu kelompok manusia , maka yang mendengar dan mengetahui informasi tersebut, dengan berbagai sarana komunikasi, maka mereka semuanya wajib mengikutinya, baik yang jaraknya jauh , maupun dekat. Atau dengan ungkapan lain bahwa rukyah satu negara berlaku untuk seluruh negara yang terdekat maupun yang jauh. Ini pendapat dhohir madzab Hanafi sebagian dari ulama dan Malikiyah , dan Syafi’yah serta Hanabilah .
Kelompok ini menggunakan beberapa dalil , diantaranya:
- Firman Allah :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Keterangannya : Bahwa setiap orang Islam yang menyaksikan (berada ) pada bulan Romadlan, maka diawajib berpuasa, tanpa membeda-bedakan wilayah dan mathla’.
- Hadist :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Hadist tersebut bersifat umum, tidak ada yang membedakan satu tempat dengan tempat lain.
Termasuk yang berpendapat untuk menyatukan kaum muslimin dalam menentukan awal bulan hijriyah , termasuk di dalamnya menyatukan awal bulan Ramadlan dan Syawwal adalah Syekh Ahmad Muhammad Syakir, seorang hakim syar’I berkebangsaan Mesir. Beliau bahkan melangkah lebih jauh dari itu, yaitu menetapkan Mekkah sebagai pusat penetapan awal bulan tersebut untuk seluruh dunia.
Adapun dalil- dalil yang dipakainya adalah sbb :
- Firman Allah Qs Al Baqarah 189 , yang menyebutkan bahwa Hilal merupakan tanda untuk menetapkan waktu bagi kehidupan manusia begiu juga untuk memetapkan waktu haji.
( يسألونك عن الأهلة ، قل هي مواقيت للناس والحج ) البقرة :189
“ Mereka bertanya kepadamu tentang hilal ( bulan sabit ) , katakanlah bahwa hilal ( bulan sabit ) tersebut merupakan tanda- tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadat haji “
Ibadah haji di dalam ayat di atas , sengaja dipilih oleh Allah untuk mengisyaratkan bahwa penentuan waktu sangat berhubungan erat dengan satu tempat, yaitu tempat dilaksanakannya ibadah haji, ( Mekkah )
- Adapun dalil dari al Sunnah , adalah hadits :
( الصوم يوم تصومون ، والفطر يوم تفطرون والأضحى تضحون )
Setelah meneliti hadits tersebut dengan semua riwayatnya , beliau berkesimpulan bahwa hadits tersebut d tujukan kepada ahli mekkah , yaitu orang – orang yang sedang berhaji. Sehingga artinya adalah puasa itu dilakukan pada hari berpuasa-nya ahli Mekkah dan sekitarnya, dan berbuka itu pada hari berbukanya mereka, berkorban pada hari mereka berkorban. Dengan demikian Mekkah adalah pusat ditentukannya hilal, dan kaum muslimin di seluruh dunia wajib mengikutinya.