Halaman

Selasa, 19 Februari 2013

HUKUM KPR RUMAH

0 komentar

HUKUM KPR RUMAH

Seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR ( Kredit Pemilikan Rumah) . Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut  adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa persennya, umpamanya  membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP ). Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar 1 juta.  Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.
Transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam.  Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan ( Pinjaman Yang Baik ) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, bukan untuk mencekik.  Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi ?
Ada beberapa solusi : diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah ( Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’ ) . Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.
Tetapi setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus dibayar sama ?
Kalau kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya :
Pertama : Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita, maka pihak Bank yang menanggung resikonya.  Berbeda dengan Bank Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.
Kedua : Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya  cicilannya jadi lebih besar.
Yang jelas, sistem yang digunakan oleh Syariah Islam jauh lebih unggul dan lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR ( Kredit Pemilikan Rumah ) di Bank Konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke Bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus.
Jakarta, 6 September 2008
DR. Ahmad Zain An Najah, MA
READ MORE - HUKUM KPR RUMAH

Asuransi Dalam Islam

0 komentar


Asuransi Dalam Islam

Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yag mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapai kecelakan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.
Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam
Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful,atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini ( khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.
Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, :
” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan ”
Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :
I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :
1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial
2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’I ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain.   [1]
Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.
Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]
II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.
Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :
1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )
2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan
Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :
Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )
Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )
Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.
Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :
1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)
Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode
waktu tertentu.
Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :
-          Usia Tertanggung 30 tahun
-          Masa Kontrak 1 tahun
-          Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
-          Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
-          Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
-          Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 
Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.
3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 
Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.
Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
-          Usia Tertanggung 30 tahun
-          Masa Kontrak 10 tahun
-          Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
-          Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
-          Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
-        Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta
IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.
Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :
1.    Asuransi Konvensional
2.    Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]
Hukum Asuransi
Hukum Asuransi dalam Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :
Pertama : Ansuransi Ta’awun
Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut[5] :
1.    Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ ( sumbangan suka rela ) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang  menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan  ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.
2.    Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.
3.    Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.
4.     Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.
Kedua : Asuransi Sosial.
Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :
1. Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu. 
2. Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan  hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.

Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga
Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :
Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad  secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“ Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787  )
Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah  ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang,  juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." ( Qs. Al-Maidah: 90).
Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma' para ulama.


Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur  rihan ( taruhan )  yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta  perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ


" Tidak ada perlombaan  kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau  yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.


Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (Qs.An-Nisa': 29).



Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan  bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan  Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]
Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1.    Dari Sisi Prinsip Dasar
Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.

2.    Dari Sisi Akad
Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).

3.    Dari Sisi Kepimilikan Dana
Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ) .Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana
4.    Dari sisi obyek
Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah.  Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.
5.    Dari Sisi Investasi Dana.
Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).
6.    Dari Sisi Pembayaran Klaim.
Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.
7.    Dari Sisi Pengawasan.
Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.
8.    Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah
Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.
Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]
Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.  Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga  tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.
Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.
Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu  . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah  PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.   Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syriah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas



[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909
[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2
[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya'ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah,  dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.
[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya'ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,
[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5
[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73
READ MORE - Asuransi Dalam Islam

Followers

 

Lembaga Kajian Islam Purwokerto. Copyright 2012 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Free Blogger Templates Converted into Blogger Template by Bloganol dot com